Ringkasan Ilmu Hadits Bagi Pemula



  • Judul Asli : Syarh Tadzkirah fî ‘Ulumil Hadits Li Ibni Mulaqqin
  • Penyusun : Syaikh DR. Muhammad bin Hadi al-Madkhâlî hafizhahullahu
  • Penerjemah : Ustadz Bisri Tujang, Lc.
  • Editor : Tim Portal Islam
  • Publikasi : www.portal-islam.net
  • Cetakan : Pertama, 2012
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Aku memuji Allah atas segala nikmat-Nya dan bersyukur kepada-Nya atas segala karunia-Nya. Kuhaturkan pula shalawat dan salam teruntuk manusia yang termulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan keluarganya. Dan selanjutnya:

Ini adalah risalah Tadzkirah yang berorientasi tentang disiplin ilmu hadits. Dengannya seorang pemula dalam menuntut ilmu diharapkan dapat mengenal disiplin ilmu ini lebih dalam dan dapat dimudahkan menguasainya. Aku menyarikannya dari kitab Al-Muqni’, salah satu dari karya tulisku.  Hanya kepada Allah aku mengharap semoga aku dapat memberikan manfaat dari kitab ini, dan sesungguhnya semua berada pada kekuasaan-Nya dan hanya Dialah Yang Maha Kuasa atas segalanya.

Macam-macam Hadits
Hadits itu terbagi menjadi tiga macam : Shahih, Hasan dan Dhaif.
A. Hadits Shahih adalah hadits yang bersih dari celaan pada sanad (silsilah perawi)-nya dan matan (kandungan hadits)-nya. Di antara hadits shahih ada yang telah disepakati keabsahannya (muttafaq ‘alaihi), yaitu hadits yang dikumpulkan oleh dua orang Imam (Bukhari dan Muslim, pent.) di dalam kitab Shahih mereka.
B. Hadits Hasan adalah hadits yang derajatnya di bawah hadits shahih dalam hal tingkat kekuatan hafalan dan kecermatan (para perawinya). Generasi sebelumnya menyebutnya dengan nama al-Khabar al-Qawî (hadits yang kuat).
C. Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak termasuk salah satu dari kedua macam hadits di atas.

Pengelompokan Ilmu Hadits
Adapun pengelompokan ilmu hadits ada lebih dari 80 :
  1. Al-Musnad: hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini juga disebut dengan hadits al-Maushûl (hadits yang bersambung sanad-nya).
  2. Al-Muttashil : hadits yang bersambung sanadnya, baik secara marfû’ (terangkat sampai kepada Nabi) atau pun secara mauqûf (terhenti sampai pada sahabat saja). Hadits ini juga dinamakan hadits Maushûl.
  3. Al-Marfû’ : hadits yang secara khusus disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, baik secara bersambung atau tidak bersambung sanadnya.
  4. Al-Mauqûf : hadits yang berupa perkataan, perbuatan atau selainnya yang diriwayatkan dari para sahabat, baik secara bersambung maupun terputus (sanadnya), dan penggunaan hadits model ini pada selain sahabat dilakukan secara muqoyyad, seperti perkataan ulama hadits : Sanadnya di-mauquf-kan sampai pada Atha’ -misalnya-, atau pada selainnya.
  5. Al-Maqthû’ : hadits berupa perkataan atau perbuatan yang berhenti sanadnya sampai pada Tabiin saja.
  6. Al-Munqathi’ : hadits yang sanadnya tidak bersambung dengan perawi manapun.
  7. Al-Mursal : perkataan seorang tabiin walau ia bukan termasuk seorang Tabiin yang senior bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda
  8. Diantara cabang dari hadits Mursal adalah Mursal khafi (mursal yang tersembunyi).
  9. Al-Mu’dhol : hadits yang telah hilang dari sanadnya dua orang perawi atau lebih. Hadits ini juga disebut sebagai hadits Munqathi’. Setiap hadits Mu’dhol pasti Munqathi’, namun tidak sebaliknya.
  10. Al-Mu’allaq : hadits yang dibuang di awal sanadnya seorang perawi atau lebih.
  11. Al-Mu’an’an : hadits yang redaksinya menggunakan lafazh ‘an (dari), misalnya: “Fulan dari Fulan”. Hadits semisal ini dikategorikan bersambung jika tidak ada Tadlîs dan dimungkinkan terjadinya pertemuan (antara murid dan guru).
  12. At-Tadlîs : hadits yang tidak disukai karena perbuatan perawi yang menyamarkan adanya pertemuan (antara murid dan guru) dan (seakan-akan) hidup sezaman, seperti ucapan : “Si Fulan berkata”. Namun untuk Tadlîs Syuyuukh (menyamarkan gurunya) maka masih lebih ringan (dari model Tadlîs yang lain).
  13. As-Syâdz : hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi riwayat para perawi lain yang lebih tsiqoh.
  14. Al-Munkar : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi, yang tidak memiliki kecermatan dan tidak terkenal sebagai perawi yang kuat hafalannya.
  15. Al-Fard : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara bersendirian (yang redaksinya berbeda) dari semua perawi, atau riwayat suatu daerah secara khusus, seperti ucapan para ulama :
    “Penduduk kota Mekah meriwayatkannya secara sendirian” atau redaksi yang sejenis.
  16. Al-Gharîb : hadits yang (misalnya) diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendirian, dari imam Az-Zuhri atau semisal beliau, dari kalangan para perawi yang mengumpulkan hadits.
  17. Jika ada dua atau tiga orang perawi menyendiri dalam periwayatan (sebuah hadits), maka hadits seperti ini di namakan hadits Al-Azîz.
  18. Jika sebuah hadits diriwayatkan oleh sejumlah perawi, maka hadits seperti ini dinamakan hadits Masyhûr.
  19. Al-Mutawatir : hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang perawi, yang dengannya benar-benar membuahkan ilmu pengetahuan.
  20. Al-Mustafîdh : hadits yang pada setiap tingkatan sanadnya terdapat lebih dari 3 orang perawi.
  21. Al-Mu’allal : hadits yang secara zhahir pada sanadnya terdapat cacat, yang dapat mempengaruhi keabsahan hadits tersebut.
  22. Al-Mudhtharib : hadits yang diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda namun memiliki tingkatan (sanad) yang sama.
  23. Al-Mudraj : hadits yang mendapatkan tambahan/sisipan (ucapan perawi bukan ucapan Nabi, ed.) pada matan-nya atau yang semisalnya.
  24. Al-Maudhû’ : hadits (yang redaksinya) hasil ciptaan/buatan sendiri. Hadits ini juga terkadang disebut hadits : (a) al-Mardûd (yang tertolak), (b) al-Matrûk (yang ditinggalkan), (c) al-Bâthil (yang batil), dan (d) al-Mufsâd (yang rusak).
  25. Al-Maqlûb : hadits yang diafiliasikan kepada selain perawinya.
  26. Al-‘Âlî : adalah keutamaan (yang dimiliki seorang perawi) yang sangat disukai. Keutamaan ini diperoleh dari kedekatan (seorang perawi) dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kedekatan kepada salah seorang imam ahli hadits, serta terdepan pada waktu wafat dan mendengarkan hadits.
  27. An-Nâzil : hadits yang berlawanan dengan hadits Al-‘Âlî.
  28. Al-Mukhtalif : dua hadits yang secara makna tampak kontradiktif/bertentangan, maka (solusinya) harus di-jam’u (digabungkan) atau dipilih diantara keduanya yang paling rajih (kuat).
  29. Al-Mushahhaf : hadits yang telah berubah redaksi atau maknanya. Perubahan ini terkadang terjadi pada matan-nya dan terkadang pada sanad-nya. Dan telah terdapat karya-karya tulis yang berbicara masalah bentuk hadits ini.
  30. Al-Musalsal : hadits yang para perawinya secara beruntun meriwayatkan (dari para perawi) berdasarkan salah satu sifat atau keadaan tertentu. Hadits seperti ini sedikit yang digolongkan shahih.
  31. Al-I’tibâr : hadits yang -misalnya diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah- dan tidak memiliki penyerta, hanya dari Ayûb, dari Ibnu Siriin, dan dari Abu Hurairah.
  32. Al-Mutâba’ah : hadits yang -misalnya- diriwayatkan oleh perawi lain selain Hammad dari Ayyuub. Maka hadits ini dinamakan Al-Mutâba’ah Al-Tâmmah (hadits penyerta yang sempurna).
  33. As-Syâhid : hadits yang redaksinya diriwayatkan oleh perawi lain tapi bermakna yang sama.
  34. Ziyâdat Ats-Tsiqât (yaitu) hadits yang dipakai menurut pendapat mayoritas ulama (ahli hadits).
  35. Al-Mazîd fî Muttashil Al-Asânîd yaitu hadits yang dalam sanadnya ditambahkan seorang perawi atau lebih karena sebuah kekeliruan.
  36. Sifat seorang perawi hadits adalah harus adil dan cermat (dhabith). Ia juga harus memiliki pengetahuan tentang ilmu Jarh wa Ta’dîl (mencacat perawi hadits dan merekomendasikannya), dapat menjelaskan usia awal periwayatannya-yaitu tatkala ia telah tamyîz (mampu membedakan perkara baik buruk), biasanya pada usia 5 tahun (seseorang telah menjadi mumayyiz); serta ia juga harus mengetahui cara pengambilan dan periwayatan hadits.
  37. Menulis hadits hukumnya boleh berdasarkan konsensus ulama hadits. Namun tetap harus berpegangan dengan kecermatan.
  38. Pembagian metode periwayatan hadits ada 8 macam :
    a. Mendengarkan langsung lafazh sang guru.
    b. Membacakan (riwayat) di hadapan sang guru.
    c. Al-Ijâzah (yaitu guru memberikan lisensi/izin kepada muridnya untuk meriwayatkan darinya, pent. ), menurut jenis-jenisnya.
    d. Al-Munâwalah (yaitu guru menyerahkan manuskripnya kepada muridnya, pent. ).
    e. Al-Mukâtabah (yaitu guru menuliskan atau mewakilkan orang lain yang menulis hadits untuk muridnya, pent. ).
    f. Al-I’lâm (guru mengumumkan kepada muridnya bahwa ia memiliki manuskrip hadits, pent. ).
    g. Al-Washiyah (yaitu: guru mewasiatkan sebuah manuskrip yang dimiliki olehnya, ketika hendak meninggal atau hendak safar, pent. ).
    h. Al-Wijâdah(yaitu seorang yang menemukan manuskrip seorang perawi yang tidak sezaman dengannya, pent. ).
  39. Periwayatan secara makna dan meringkas hadits juga termasuk periwayatan dan penyampaian yang dibolehkan.  Adab seorang muhaddits dan penuntut ilmu hadits.
  40. Mengetahui kata-kata asing dan terminologi bahasa hadits, tafsiran makna-maknanya, dan dapat menggali hukum-hukum darinya.
  41. Menisbatkan haditsnya kepada para sahabat, tabiin dan para murid mereka.
    Dari sini dibutuhkan mengetahui hukum yang lima, yaitu: a. Wajib, b. Sunnah, c. Haram, d. Makruh dan Mubah. (semua hukum ini) berkaitan erat dengan:
    a.(hukum) al-Khâsh yaitu yang menunjukkan makna spesifik/tunggal.
    b.(hukum) al-‘Âm yaitu yang menunjukkan dua hal dari sisi yang sama.
    c.(hukum) al-Mutlaq yang menunjukkan makna tunggal tanpa ada penentuan atau syarat padanya.
    d.(hukum) Al-Muqayyad yang menunjukkan makna tunggal dengan adanya syarat/penentuan lain.
    e.(hukum) Al-Mufashshal yaitu sebuah konteks yang telah diketahui maksudnya dan tidak membutuhkan penjelasan yang lain.
    f.(hukum) Al-Mufassar yaitu sebuah konteks yang awalnya tidak diketahui maksudnya, kemudian membutuhkan penjelasan yang lain.
  42. Memilih yang terkuat (tarjîh) di antara para perawi, ada dengan melihat sisi jumlah mereka dan persamaannya dalam tingkat kecermatan dalam menghafal. Selain dari aspek jumlah juga ditinjau dari sisi perbedaan mereka dalam hal ini. Dan seterusnya.
  43. Mengetahui mana hadits penghapus (nâsikh) dan mana hadits yang dihapus hukumnya (mansûkh).
  44. Mengetahui (biografi) para sahabat.
  45. Juga (mengetahui) murid-murid mereka.
  46. Mengetahui riwayat para senior dari para junior, seperti riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari sahabat Tamîm Ad-Dârî, dan (Abu Bakar) Ash-Shiddîq, dan dari selain mereka.
  47. Metode di atas juga biasa disebut dengan riwayat Al-Fâdhil (yang paling utama) mengambil riwayat dari Al-Mafdhûl (yang diutamakan), atau riwayat seorang guru dari muridnya. Seperti riwayat imam Az-Zuhrî, Yahya bin Sa’îd, Rabî’ah dan yang selainya dari Imam Mâlik.
  48. Riwayat seorang perawi dari rekannya yang sepadan, seperti riwayat Imam At-Tsauri dan Abu Hanîfah dari Imam Mâlik pada sebuah hadits: “Seorang janda lebih berhak menentukan calon suaminya daripada walinya”.
  49. Mengetahui periwayatan para ayah dari para anak, seperti riwayat sahabat Al-Abbâs dari anaknya yang bernama Al-Fadhl, atau sebaliknya. Demikian juga riwayat seorang ibu dari anaknya.
  50. Mengetahui hadits Al-Mudabbaj yaitu: periwayatan para perawi yang selevel satu dengan lainnya. Apabila hanya salah seorang yang meriwayatkan dari temannya, sementara teman ini tidak meriwayatkan darinya, maka ini bukanlah dikatakan hadits al-Mudabbaj.
  51. Mengenal periwayatan para perawi yang bersaudara, seperti Umar dan Zaid; keduanya putera (Umar) Al-Khatthâb.
  52. Mengetahui perawi yang meriwayatkan darinya dua orang perawi yang zaman wafatnya berjauhan, seperti As-Sarrâj dan al-Khaffâf dimana Imam Bukhâri meriwayatkan darinya padahal jarak zaman wafat mereka berdua selama 137 tahun atau lebih.
  53. Mengenal perawi dari kalangan sahabat dan generasi setelah mereka, yang hanya satu orang perawi yang meriwayatkan darinya, seperti Muhammad bin Shafwan, di mana tidak ada perawi yang meriwayatkan darinya kecuali As-Sya’bî.
  54. Mengetahui setiap perawi yang terkenal dengan beberapa nama atau tersohor dengan ciri-ciri yang beragam; semisal Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi Al-Mufassir.
  55. Mengenal nama-nama, kunyah dan julukan para perawi.
  56. Mengenal jumlah periwayatan mereka, dan perawi yang terkenal dengan namanya daripada nama samarannya, atau sebaiknya.
  57. (mengenal) perawi yang namanya sama dengan nama bapaknya.
  58. (mengenal) nama perawi yang serupa dalam penulisannya tapi berbeda pengucapannya.
  59. Mengenal nama perawi yang tulisan dan lafazhnya serupa padahal mereka adalah pribadi yang berbeda.
  60. (mengenal) perawi yang terkombinasi dari dua perkara di atas.
  61. (mengenal) nama para perawi yang serupa, tapi nama bapak mereka berbeda.
  62. (mengenal) perawi yang diafiliasikan kepada selain babaknya, semisal Bilal bin Hamamah.
  63. (mengenal) penisbatan pada sesuatu yang dapat membuat presepsi seseorang menjadi berbeda, semisal Abu Mas’ûd Al-Badrî yang tinggal di daerah Badar, tapi ia tidak ikut serta dalam peperangan Badar.
  64. (mengenal) perawi yang disamarkan namanya.
  65. (mengenal) sejarah dan waktu wafatnya para perawi.
  66. Mengenal para perawi yang tsiqoh (cermat dan terpercaya)dan para perawi yang lemah hafalan; serta perawi yang status kecermatannya masih diperselisihkan oleh ulama, sehingga dengan demikian harus dikuatkan dengan timbangan yang adil.
  67. (Mengenal) perawi yang tsiqoh tapi di akhir usianya kecermatannya menjadi berubah melemah. Sehingga barangsiapa yang diketahui meriwayatkan darinya sebelum itu maka periwayatannya diterima, jika diketahui meriwayatkan setelah itu maka tidak diterima.
  68. (mengenal) perawi yang (biasa meriwayatkan dari manuskripnya, kemudian diketahui) semua manuskripnya telah terbakar atau hilang, maka tatkala ia meriwayatkan dari hafalannya selalu salah.
  69. (mengenal) perawi yang pernah menyampaikan sebuah hadits dan lupa, kemudian ia meriwayatkannya dari perawi yang pernah ia sampaikan kepadanya.
  70. Mengenal tingkat-tingkat para perawi dan para ulama.
  71. (mengenal) para tuan dan budak-budak mereka.
  72. (mengenal) kabilah-kabilah, negara, profesi dan perhiasan khas para perawi.
Demikianlah risalah ini ditulis dengan ketergesaan bagi para pemula. Risalah ini merupakan pengantar tulisan yang telah kami isyaratkan di awal penjelasan, sesungguhnya di dalamnya menghimpun banyak faidah dalam bidang ilmu pengetahuan ini, baik berupa cabang-cabangnya, urgensi dan keutamaannya.  Segala puji hanya milik Allah atas segala kemudahan dan karunia-Nya.

Penulis risalah ini rahumahullâhu berkata:
“Aku selesai menulis risalah ‘Tadzkirah’ ini dalam durasi 2 jam, tepatnya di hari Jum’at pagi, pada tanggal 27 Jumadil Awal, tahun 763H. Semoga Alloh memperbagusnya dan menjadikannya sebagai kebaikan. Amîn.”

Disalin dari https://www.facebook.com/notes/mendekatkan-hadits-sunnah-ke-hadapan-ummat/ringkasan-ilmu-hadits-bagi-pemula/614817251925240

Pengantar Penjelasan Kitab Tauhid



بسم الله الر حمن الر حيم

اَ لْحَمْدُ للهِ, َو صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَ عَلَى اَ لِهِ وَصَحْبِهِ وَ سَلَّمَ

كِتَابُ ا لتَّوْحِيْدِ
Kitab Tauhid

Tauhid dibagi menjadi dua yaitu tauhid ‘amm (umum) dan tauhid khass (khusus).
1.Tauhid amm adalah mengesakan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah, dan asma wa shifat-Nya.
2.Tauhid khass adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah (uluhiyyah)
Beliau (Syaikh Muhammad At Tamimi) dalam kitab ini memulai dari tauhid, berdasarkan hal ini bisa diambil faidah bahwa dalam berdakwah harus bertahap atau perlahan-lahan. Kita jelaskan dulu mengenai keutamaan tauhid itu sendiri, apa itu tauhid, baru kemudian syirik asghar dan perbuatan yang termasuk dalam syirik asghar, syirik akbar dan perbuatan yang termasuk dalam syirik akbar, setelah itu mengenai hal yang mungkin agak sulit diterima bagi mereka yaitu mengenai tidak diperbolehkan mengkultusan orang-orang shalih apalagi beribadah kepada mereka.

وَ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى :وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.  (Adz-Dzariyat:56)
Kata يَعْبُدُونِ (ibadah) jika dimutlakkan bermakna tauhid.

Faedah dari surat Adz-Dzariyat:56 adalah
- Wajibnya mengesakan Allah dalam hal ibadah (hal ini berlaku bagi jin dan manusia)
- Menerangkan hikmah diciptakannya jin dan manusia
- Yang memberi rizki dan yang menciptakan kita-lah yang berhak diibadahi

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّٰغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ ٱلضَّلَٰلَةُ ۚ فَسِيرُوا فِى ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ



Artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). )An Nahl:36)

Faedah dari surat An Nahl:36 adalah

  • Thaghut adalah segala sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain Allah dan dia (yang disembah atau diikuti atau ditaati selain Allah) ridha dengannya.
  • Hikmah dari diutusnya para rasuladalah untuk mendakwahkan tauhid dan memberantas kesyirikan
  • Agama para nabi adalah satu, mereka semua mendakwahkan tauhid, yang berbeda adalah syariat-syariat yang dibawa oleh para nabi sebelum Rasulullah صلى الله عليه و سلم Adapun setelah Rasulullah صلى الله عليه و سلم diutus, syariat beliau berlaku untuk seluruh ummat, tidak khusus untuk bangsa ‘Arab saja
  • Risalah berlaku untuk setiap ummat sesuai dengan yang dibawa oleh rasul yang ada pada zamannya dan apa yang Allah turunkan akan menjadi hujjah untuk seluruh manusia
  • Keagungan tauhid
  • Keagungan kalimat لا ا له الا الله . Dalam ayat di atas terdapat nafi dan itsbat. 

Bagi-Bagi Faidah dari Ilmu Mustholah..bag.1

Bagi-Bagi Faidah dari Ilmu Mustholah..bag.1
oleh Ustadz Ibnu Hilmy
(faidah dari majlis Syeikh Muhammad Dhiyaau Ar-rohman Al-A'dzomiy-hafidhohullah)

1.Penamaan atau istilah Imam Tirmidzi yang ada di dalam kitab "Jami'u At-Tirmidzi" adalah istilah-istilah yang muncul setelah abad ke-6. istilah-istilah baru yang belum dikenal sebelumnya.


2.Di dalam kitab sunan (sunan Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah) tidak terdapat hadits maudhu' kecuali dalam sunan Ibnu Majah.


3.Pekataan yang menyebutkan bahwa syarat Imam Nasa'i lebih ketat dari Imam Muslim tidak bisa diterima begitu saja, sebab didalam sunan Nasa'i terdapat hadits yang dhoif.


4.Kitab An-Nasa'i berbeda dengan kutubus sunan yang lainnya, karena ia adalah kitab sunan sekaligus kitab 'ilal. sebab beliau mengumpulkan satu macam hadits, lalu menyebutkan berbagai macam sanadnya beserta perbedaan lafadznya, kemudian merojihkan salah satu darinya.


5.Salah satu warisan terbesar dari kitab hadits adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal-rohimahullah-. Imam ahlussunnah waljama'ah tanpa khilaf. kedudukan beliau dimata ulama jarh wa ta'dil ''fulan laa yus_ala 'anhu" (tidak perlu ditanyakan lagi) karena beliau tempat bertanya dalam masalah rijal ini. martabat/kedudukan tertinggi dalam lafadz ta'dil.


6.Beliau memulai mengarang kitab ini sejak berumur 36 tahun, dipenghujung abad ke-2 hijriyyah selama 40 tahun sampai beliau-rohimahullah diwafatkan.


7.Sepanjang men-ta'lif (mengarang/menyusun) musnad ini, beliau berusaha untuk merapikannya sebab hadits-hadits tersebut ditulis dikertas-kertas dan masih berbentuk draf-draf, terkadang beliau menyuruh Abdullah anaknya untuk menyusun kembali catatan-catatan yang masih berserakan. 


8.Akan tetapi sampai akhir hayat beliau, usaha untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada tidak sesuai dengan apa yang beliau harapkan.

9.Beberapa point/bukti yang menunjukkan bahwa Imam Ahmad tidak sempat untuk memperbaiki seluruh kekurangan yang ada di dalam kitabnya:

-merupakan perkara yang ma'lum dan ma'ruf kalau yang namanya MUSNAD itu adalah kitab yang mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallahu'alaihi wasallam dari setiap sahabat orang-perorang (artinya hadits Abu Huroiroh dikumpulkan dalam satu tempat, hadits Anas dikumpulkan dalam satu tempat, dan begitu seterusnya). dan Imam Ahmad sadar betul akan hal ini, namun masih didapati didalam kitab ini hadits sahabat lain masuk kedalam riwayat sahabat lain.

-terkadang mengulangi hadits dari satu sahabat dengan sanad dan isi hadits yang sama di dua tempat yang berbeda. dan ini tidak ada gunanya jika menamakan kitab tersebut dengan Musnad, yang mana perkara tersebut (pengulangan hadits) sah-sah saja jika ada dalam kitab fiqh seperti Shohihnya Imam Bukhori.


-menyebutkan riwayat nisa' (perempuan) kedalam riwayat rijal (laki-laki), begitu pula sebaliknya.


-mengumpulkan hadits-hadits qobail (kabilah-kabilah) ke dalam hadits buldan (negri-negri)


-dan menyebutkan hadits-hadits orang syam ke dalam hadits orang kufah, hadits orang kufah ke dalam hadits orang bashroh.


10. Salah satu penyebab yang tidak memungkinkan Imam Ahmad untuk merapikan, menyusun, karangannya memperbaiki kesalahan yang ada adalah banyaknya hadits-hadits yang beliau dengar dari para syeikhnya.


11. Imam Ahmad mempunyai 2 orang anak yang masing-masing mempunyai kelebihan, 

-Abdullah bin Ahmad, keistimewaan beliau adalah riwayat musnad Imam Ahmad, sampai-sampai beliau lebih dari 300 kali membacanya.
-Sholih bin Ahmad, keistimewaan beliau terletak pada penguasaan fiqih Imam Ahmad.


12.Didalam musnad imam Ahmad terdapat ziyadah (riwayat tambahan dari Abdullah) dan Abu Bakar al-qothi'iy, 


13.Yang mana ziyadah Abdullah ini berasal dari riwayat-riwayat yang dibacakan kepada syeikh Imam Ahmad maupun kepada yang lainnya, sehingga tidak boleh kita membacanya "akhrojahu imam ahmad" (diriwayatkan oleh imam Ahmad) akan tetapi "akhrojahu Abdullah fii ziyadati Abiihi" meskipun sama-sama meriwayatkan dari syeikh/guru yang sama.


14.Imam Dzahabi adalah salah satu ulama yang menyadari akan kholal (kekurangan/cacat) yang ada pada Musnad Imam Ahmad, sehingga beliau bercita-cita untuk menyusunnya kembali, memperbaikinya, bahkan ingin menjadikannya salah satu kitab fiqih, akan tetapi keinginan tersebut tdak tercapai. 


15.Para ulama berbeda pendapat tentang hadits-hadits yang terdapat dalam musnad.

-ada yang mengatakan semuanya shohih,
-dan ada pula yang mengatakan shohih,hasan,dhoif, bahkan maudhu'/palsu.


yang benar adalah pendapat pertengahan dari kedua pendapat diatas, yaitu bahwa didalam musnad tidak diragukan lagi bahwa secara umum haditsnya antara shohih dan hasan, dan ada juga yang dhoif/lemah (imam Ahmad sendiri yang mengatakannya).


kenapa beliau mencantumkan hadits dhoif? karena didalam bab/pembahasan tersebut tidak ada hadits yang lebih baik dari pada hadits yang dhoif tersebut.


16.Kita berlepas diri untuk mengatakan bahwa di dalam musnad terdapat hadits palsu, karena tidak terbayangkan bagi seorang imam ahlussunah seperti imam Ahmad memasukkan rowi kadzdzab (pendusta) kedalam musnadnya,(karena hadits maudhu' adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi pendusta), apa lagi beliau adalah Imam Jarh wa ta'dil yang menjadi rujukan dalam ilmu rijal.


akan tetapi yang memungkinkan adalah didalam haditsnya terdapat rowi yang jelek hafalannya, banyak salahnya, sehingga meriwayatkan hadits dari tabi'in atau sahabat atau orang sholeh dan menisbatkannya pada Rosulillah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai suatu keteledoran/kelalaian rowi tersebut.


17.Perbedaan rowi tsiqoh dan shoduq, memiliki al-'adalah yang sama, dan berbeda pada al-hifdzu, yang mana hafalan dan kematangan hafalannya berada dibawah derajat kematangan hafalan rowi tsiqoh.ث


18.Orang yang menulis didalam karya ilmiyahnya, atau bukunya, atau tahqiqkannya, atau didalam penyebutan rowi dengan kalimat "fulan maqbul" adalah tidak tepat, akan tetapi yang benar adalah,

"فلان مقبول إذا توبع, فإلا لين الحديث"
wallahu'alam
semoga bermanfaat...
_____________________________________________
madinah nabawiyah, 04/04/1435 H.
ket. faidah ini kami ambil dari dars syarh kitab ma'rifatu 'uluumi al-hadits, karya Imam Ibnu Katsir, oleh Syeikh Muhammad Dhiyaau Ar-Rohman al-a'dzomiy-hafidzohullah. Pengajar Mesjid Nabawi, dahulu pernah menjabat sebagai 'amid kuliyah hadits UIM.

SEKILAS TENTANG AL-'ITIBAR, AL-MUTABA'AAT, DAN ASY-SYAWAHID

SEKILAS TENTANG AL-'ITIBAR, AL-MUTABA'AAT, DAN ASY-SYAWAHID
oleh Ustadz Ibnu Hilmy

Hadits Syaadz dan Munkar merupakan dua diantara hadits-hadits dho'if, entah itu disebabkan at-tafarrud (tidak ada rowi lain yg meriwayatkan hadits tsb kecuali dia) atau mukholafatu ghoirihi (menyelisihi rowi-rowi yang lain). Bedanya, syaadz adalah hadits yg hanya diriwayatkan oleh satu orang rowi yang tsiqoh, sedangkan munkar diriwayatkan oleh rowi yang dho'if .

Lantas bagaimana kita dapat mengetahui bahwa seorang rowi dikatakan tafarrud atau tidak? apakah ada rowi lain yang meriwayatkan hadits tsb dan sepakat dengannya atau tidak? atau apakah periwayatannya diselisihi yang lain atau tidak?.
Nah untuk mengetahui hal tersebut, Ulama hadits-'alaihimur rahmatullahi tabaroka wata'ala- melakukan observasi, dan eksplorasi, atau dengan kata lain mengamati, menyelidiki, dan mencermati riwayat-riwayat yang ada di kitab-kitab hadits lalu dikumpulkan hadits-hadits yang senada dari rowi atau sahabat tertentu, serta hadits-hadits yang diriwayatkan perowi lainnya dalam satu bab.


Dari pengamatan dan penelusuran tersebut, maka akan tampak mana rowi yang 'menyendiri' dalam suatu hadits karena periwayatannya berbeda dengan rowi-rowi yang lain, dan inilah yang disebut dengan tafarrud, dari situ juga akan kelihatan siapa saja rowi yang periwayatannya sama baik dalam sanad dan matan nya, atau hanya matan nya saja, terkadang muncul lagi hadits dari rowi lain yang jika diamati oleh ulama hadits akan tampak bahwa hadits tersebut menyelisihi hadits sebelumnya, maka mereka akan memposisikannya sebagai ikhtilaf, lalu ditinjau kembali apakah ikhtilaf (perbedaan) tersebut berpengaruh atau tidak, merusak derajat hadits tersebut atau tidak.

Cara yang ditempuh oleh Ulama Hadits seperti ini lah yang disebut dengan al-'itibaar.

Sehingga kita akan menemukan istilah (sebagaimana yang diisyaratkan Ibnu Sholah-rohimahullah-) yang sering didengungkan oleh ulama hadits fulan yashluh li al-'itibar atau laa yashluh li al-'itibar. Dan istilah ini kembali pada keadaan rowi itu sendiri, tidak cukup hanya dengan meriwayatkan suatu hadits dan disepakati oleh perowi yang lain lalu dijadikan pertimbangan, atau sebagai syahid. akan tetapi inilah yang dimaksudkan oleh ulama hadits dari istilah 'itibar itu sendiri meskipun ada pengertian yang lain.

Ulama Hadits mengatakan bahwa dari proses al-'itibar inilah al-mutaba'aat dan asy-syawahid dapat diketahui. Mereka mengatakan bahwa apabila ada rowi lain meriwayatkan hadits yang sama baik dari sisi sanad atau matan nya, sehinngga rowi yang pertama tidak sendiri dalam periwayatan haditsnya melainkan ada rowi lain yang 'seiya sekata' meriwayatkan hadits dari syeikhnya sampai seterusnya keatas. Sedangkan matan nya sama dengan matan dari dua orang rowi inilah yang dinamakan al-mutaba'ah. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hammad bin salamah, dari Ayyub as-sikhtiyani, dari Muhammad bin Sirin, dari Abi Huroiroh, dari Rosulillah-shallallahu'alai wasallam- (misal ini telah disebutkan sebelumnya oleh Ibnu Hibban di Muqoddimah Shohihnya).


Nah, apabila kita tidak menemukan selain Hammad yang meriwayatkan hadits dari Ayyub atau yang lainnya, maka kita katakan bahwa Hammad telah tafarrud dalam periwayatan haditsnya. Namun, jika kita menemukan ada rowi lain yang sama-sama meriwayatkan dari Ayyub, maka kita katakan bahwa Hammad lam yatafarrod (tidak sendiri) melainkan ada rowi lain yang juga meriwayatkan dari Ayyub. Inilah yang dimaksud dengan qoul ulama : fulan taaba'ahu fulan, yang berarti bahwa selain dirinya masih ada rowi lain yang 'seirama' dalam periwayatan hadits dari Syeikh yang sama sampai seterusnya hingga Rosulillah, begitu juga dengan matannya. Maka rowi tsb tidak sendiri, tidak pula meriwayatkan hadits dari dirinya sendiri, melainkan ada riwayat yg sama dari rowi lain, diikuti dan disepakati rowi lain, dan ini merupakan tingkat mutaba'ah tertinggi yang disebut dengan al-mutaba'ah at-taammah.

Mengapa dikatakan al-mutaba'ah at-tammah? karena rowi lain ini meriwayatkan hadits dari jalur yang sama, yaitu dari Syeikh yang sama lalu dari syeikh syeikhnya yang sama sampai akhir isnad dan dengan matan yang sama pula.

Akan tetapi contoh yang disebutkan diatas tidak termasuk Mutaba'ah taammah, karena ternyata tidak ada rowi lain yang meriwayatkan haditsnya melalui jalur Ayyub, akan tetapi dari rowi lain (bukan Ayyub) lalu dari Ibnu Sirin, jadi rowi tsb hanya sejalan dengan Hammad dari jalur Ibnu Sirin, dan dari Abi Huroiroh saja. gambaran seperti ini juga termasuk dalam bagian mutaba'ah, akan tetapi lebih tepatnya disebut dengan al-mutaba'ah al-qoshiroh dikarenakan adanya perbedaan dalam sebagian jalur periwayatan. Dalam kasus seperti ini Hammad masih dikatakan ber-tafarrud karena hanya dia sendiri yang meriwayatkan dari Ayyub, bahkan boleh jadi Hammad mukhti' (salah) karena hadits yang mahfudz (lawan kata syaadz, hadits yg diriwayatkan oleh rowi maqbul menyelisihi rowi-rowi lain yang lebih rendah derajatnya dalam al-hifz wa al-itqon) bukan dari jalur Ayyub, dari Ibn Sirin melainkan dari selain Ayyub dari Ibn Sirin. Meskipun demikian periwayatannya masih dalam lingkup mutaba'ah secara umum.


Selain itu jika kita menemukan hadits yang sama tapi diriwayatkan selain Hammad, bukan dari Ayyub, bukan pula dari Ibnu sirin, tapi sama-sama dari Abi Huroiroh, maka keadaan seperti ini (sebagaimana diisyaratkan Ibnu Sholah) juga termasuk mutaba'ah tapi lebih rendah dari pada yang pertama tadi karena hanya bertemu pada sahabat Abi Huroiroh saja.


akan tetapi apabila kita mendapatkan hadits (dengan matan yang sama ) yang dinisbatkan kepada Rosulillah-shollallahu'alaihi wasallam-, namun bukan dari jalur Hammad,dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, Dari Abi Huroiroh, bagaimana kita menyebutnya?

Ibnu Hajar-rohimahullah- menyebutnya dengan syaahid, meskipun lafadz dan isi haditsnya sama. gambaran seperti ini tidak disebutkan Ibnu Sholah, beliau juga menyebutnya sebagai mutaba'ah. sedangkan Ibnu Hajar memposisikannya sebagai syaahid selama haditsnya diriwayatkan oleh Sahabat lain (meskipun matan haditsnya sama persis). Syahid menurut Ibnu Sholah ialah apabila ada hadits dari sahabat yg berbeda, dengan matan yang berbeda tapi mengandung makna yang sama dengan hadits Abi Huroiroh.

Akan tetapi sudah menjadi suatu yang lumrah apabila ada perbedaan didalam istilah-istilah, dan memang kita sering terkecoh didalam penyebutannya, terkadang mutaba'ah dikatakan syahid dan syahid dikatakan mutaba'ah, namun selama tidak mempunyai pengaruh buruk maka hal ini sah sah saja. Dengan catatan bahwa yang diinginkan oleh ulama hadits adalah untuk mengetahui apakah rowi tersebut tafarrud atau tidak, ada yang sepakat atau tidak, atau ada yang menyelisihinya ada tidak. sehingga mereka dapat menentukan hadits tsb mahfudz atau tidak, benar atau salah...wallahu'alam
_____________________
sari kata dari ملتقى أهل الحديث
Kota Nabi -shallallahu'alaihi wasallam-, 23 Shofar 1435 H

PENGERTIAN HADITS DHO'IF DAN SIFAT-SIFAT QOBUL

PENGERTIAN HADITS DHO'IF DAN SIFAT-SIFAT QOBUL


oleh Ustadz Ibnu Hilmy

Al-Hafidz Ibnu Sholah mendefinisikan hadits dhoif dengan : setiap hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat hadits shohih dan hasan.

Pengertian dari beliau ini senada dengan Imam-iman yang lain seperti An-Nawawi, At-Thibiy, dan Ibnu Katsir-rahmatullahi 'alaihim jami'an-

Akan tetapi definisi Ibnu Sholah tsb kritisi oleh Al-Hafidz Al-'Iroqi yang disepakati oleh Ibnu Hajar, beliau berkata : ''sekiranya Ia mencukupkan dengan menafikan sifat-sifat hadits hasan maka lebih tepat, karena ianya secara otomatis akan menafian sifat-sifat shohih bahkan lebih.''

''Definisinya juga mengharuskan hadits yang hilang salah satu sifat-sifat shohih dikatakan dho'if, padahal tidak demikian. karena -tamaamu ad-dhobt misalnya- jika hilang (benar bahwa sifat-sifat shohih tidak terkumpul) maka haditsny tsb dikatakan hasan bukan dhoif.'' timpal Ibnu Hajar menambahkan kritikan gurunya, Al-'Iroqi...

Apakah hanya sampai disitu...?

Ternyata tidak demikian, Al-Hafidz As-Suyuti tidak setuju dengan instrupsi Ibnu Hajar, beliau menyanggahnya dengan berkata : ''kritikan itu memang mengena untuk Ibnu Sholah jika saja beliau tidak hanya mengatakan 'tidak terkumpul sifat-sifat shohih' akan tetapi beliau juga mengatakan 'tidak pula sifat-sifat hasan' maka definisinya tidak layak dibantah.''

Adapun Ibnu Daqiiq Al-'Iid, mengenai hadits dhoif beliau mencukupkan definsinya dengan hanya menafikan sifat-sifat hasan tidak yang lain, beliau berkata : ''yaitu apabila dibawah derajat hasan.''

Begitu juga menurut pendapat Imam-iman yang lain seperti Adz-Dzahabi, As-Suyuti, dan Al-'Iroqi-rahmatullahi 'alaihim jami'an-, dengan dalih yang telah beliau sebutkan ketika mengkritisi pendapat Ibnu Sholah sebelumnya, ini juga yang dimaksudkan As-Suyuti dari inti perkataan : ''karena apabila sifat-sifat hasan saja tidak terkumpul, apalagi sifat-sifat shohih, maka tidak mungkin.''

Setelah mengajukan bantahannya terhadap definisi Ibnu Sholah, kini giliran Ibnu Hajar untuk men-ta'riif hadits dhoif dengan mengatakan : ''sekiranya beliau (Ibnu Sholah) mendefinisikannya dengan ; setiap hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat qobul, tentu akan selamat dari bantahan dan lebih tepat.''

SIFAT-SIFAT MAQBUL

Sifat-sifat qobul itu ada 6 (enam), yang tergabung dalam syarat-syarat hadits shohih dan hasan.

1.'Adalatu ar-rowi : kemampuan/bakat yang menjadikan seseorang sanggup untuk mulaazamatu at-taqwa dan al-muruuaah. 
*mulaazamatu at-taqwa -- terus menerus meninggalkan perbuatan tercela, seperti syirik, fasiq, bid'ah.
*al-muruuaah -- adab, akhlaq terpuji, kebiasaan yang baik [tergantung kebiasaan daerah masing-masing] 

Yang keluar dari definisi al-'adlu :
al-kaafiru : orang kafir
as-shobiyyu : anak kecil 
al-majnuunu : orang gila 
al-faasiqu : orang yg dikenal dengan pelaku dosa besar atau bersikeras melakukan dosa kecil. 
al-mubtadi' : orang yang berkeyakinan pada sesuatu yang tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu'alaihi wasallam, bukan perkara yang beliau kerjakan, tidak pula sahabat. 
al-kadzdzabu : orang yang pernah berdusta atas nama Nabi-shallallahu'alaihi wasallam- walau hanya satu kali. 
al-muttaham bi al-kadzibi : orang yang terbiasa berdusta, tapi tidak diketahui jika ia pernah berdusta atas Nabi-shallallahu'alaihi wasallam. 
majhul al-'ain : tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya kecuali satu orang dan tidak ada yg men-tsiqoh-kannya
majhul al-hal : haditsnya hanya diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dan tidak ada yg men-tsiqoh-kannya
makhruum al-muruuah : menyelisihi perangai/adab baik menurut kebiasaan setempat.

2. Ad-dhobt 
terbagi menjadi dua :
1. dhobtu as-shodr -- rowi yang slalu sigap, tidak lalai, hafal setiap apa yang didengar, mampu menghadirkan hafalannya dalam keadaan apapun.
2. dhobtu al-kitab -- penjagaan rowi terhadap ke-shohih-an apa yang ia tulis sampai ia meriwayatkannya kepada yang lain.

yang keluar dari makna ad-dabt :
katsrotu al-wahm : rowi yang sering meriwayatkan hadits dengan sangkaan lemah, kadang menyambung isnad yang terputus, mengangkat atsar sahabat menjadi hadits Nabi, de el el.
fuhsyu al-gholat : rowi yang kesalahannya lebih banyak dari yang benar, [kesalahan yang fatal].
syiddatu al-ghoflah : rowi yang lalai, tidak sigap, sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah dari hadits-hadits yang ia riwayatkan.
su'ul hifz : rowi yang sisi benarnya sama atau seimbang dengan sisi kesalahannya. 
katsrotu al-mukholafah liman huwa awtsaq minhu : seringkali menyelisihi rowi-rowi yang lebih tsiqoh darinya.

3. Ittishol as-sanad : rowi haditsnya bersambung dari awal sampai akhir. atau dengan kata lain, setiap rowi mendengar hadits tsb langsung dari syeikhnya sampai ke Rosulillah-shallallahu 'alaihi wasallam.

yang tidak termasuk cakupan syarat diatas adalah :
al-mu'allaq : hadits yang terputus dari awal isnad satu orang rowi atau lebih, bahkan sampai akhir isnad, yang disampaikan dengan konteks/gaya bahasa yang tidak jelas [apakah rowi tsb mendengarkan hadits secara langsung atau tidak] misalnya dengan kata : qoola, rowa, zaada, dzakaro, atau yg semisalnya. As-Suyuti menambahkan : dengan berurut.
al-munqoti' : hadits yang terputus sanadnya satu orang rowi atau lebih dengan syarat tidak berurutan.
al-mu'dhol : hadits yang terputus sanadnya dua orang rowi atau lebih dengan syarat berurutan.
al-mursal : hadits yang disandarkan oleh taabi'i kepada nabi yang ia dengar dari orang lain.
al-mudallas : hadits dari seorang rowi yang seakan-akan ia dengarkan langsung dari syeikh nya, padahal hadits tersebut ia dengar dari orang lain.[salah satu bentuk tadlis]

4. al-mutaba'ah 'inda al-haajah ilaiha, seperti hadits shohih lighoirihi [semula hadits hasan bidzaatihi, lalu ada riwayat lain yang menguatkannya sehingga naik derajatnya menjadi shohih lighoirihi] atau hasan lighoirihi [aslinya hadits dhoif yasiiru ad-dho'fi (ringan kelemahannya), lalu ada hadits lain yang menguatkannya sehingga bertambah derajatnya menjadi hasan lighoirihi.

yang keluar dari syarat diatas adalah :

apabila ada rowi dho'if yang tafarrud [tidak ada rowi lain yang meriwayatkan hadit tsb kecuali dia], dan tidak ada riwayat lain yang menguatkannya.

5. intifaa al-mukholafah : tidak diselisihi atau menyelisihi rowi lain.

yang besebrangan dengan syarat diatas adalah :
asy-syaadz : hadits yang diriwayatkan oleh rowi maqbul [mencakup tsiqoh dan shoduq] menyelisihi rowi yang lebih tingkatannya [karena jumlah rowi atau lebih dhobit dll]
al-munkar : hadits yang diriwayatkan oleh rowi dhoif [baik dalam keadaan tafarrud atau menyelisihi rowi tsiqoh]

6. intifaa al-'ilal al-qoodihah : tidak terdapat cacat yang parah.

yang tidak sesuai dengan syarat diatas adalah :
al-mu'allal : hadits yang secara kasat mata shohih, namun apabila ditelaah kembali terdapal cacat yang merusak ke-shohih-an nya.
al-mudthorib : hadits yang diriwayatkan dari sisi yang bermacam-macam, tidak mungkin untuk di-jama' atau di-tarjiih karena dalam kedudukan atau tingkat dhobit yang sama.
al-mudroj : hadits yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan bagian dari hadits tsb, baik dalam isnad atau matan, diawal, ditengah, atau diakhir.
al-maqlub : hadits yang didalamnya terdapat pertukaran, baik rowi haditsnya ditukar dengan rowi lain, atau isi haditsnya ditukar dengan isi hadits lain, baik sengaja atau tidak.
_______________________________________
03/03/1435 H
sumber :
taisiir mustholah al-hadits [DR.Mahmud thohhan]
mu'jam mushtolah al-hadits wa lathoif al-asanid [DR.Diyaau Ar-Rahman Al-'Adzomi]
dhowabith al-jarh wa at-ta'dil [DR.'Abdul 'Aziz bin Muhammad 'Abdul Latiif]
mudzakkiroh mustholah al-hadits [DR.'Abdullah bin 'Iid Al-Jarbuu'i]

Taisir Mushthalahul Hadits

 Taisir Mushthalahul Hadits
 Taisir Mushthalahul Hadits
تيسير مصطلح الحديث
oleh Ustadz Abu Asma Andre


Dibawah ini dan seterusnya akan dibawakan pembahasan rutin - insya Allah - dari kitab Taisir Mushthalahul Hadits - karya Syaikh Duktur Mahmuud Ath Thahaan - dalam bentuk tanya jawab, semoga dengan thariqah tanya jawab lebih bisa dipahami....

Saya tidak mengikat kata perkata dari ungkapan Syaikh Mahmuud dalam kitabnya juga dalam urutannya - yang menjadi tujuan adalah " mengenalkan " ilmu hadits dalam bentuk yang paling mudah untuk dipahami.

Adapun penjelasan - penerimaan maupun kritikan serta bantahan pada beberapa ungkapan Syaikh Mahmuud Ath Thahaan maka bukan disinilah tempatnya...


Wallahu 'alam...



1. Apa yang dimaksud ilmu hadits ?

Jawab : 
Ilmu yang membahas masalah masalah yang terkait dengan sanad - matan atau para perawi, dan dia dibagi menjadi dua macam :

- Ilmu hadits riwayat ( علم الحديث رواية ) : yaitu ilmu yang membahas tentang penukilan dari sisi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, baik hal tersebut merupakan ucapan, perbuatan atau keadaan beliau.


- Ilmu hadits dirayah ( علم الحديث دراية ) : yaitu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi hadits dan apa yang diriwayatkannya dari sisi diterima atau ditolak.


Amalan yang Berpahala Besar

Dzikir-dzikir utama
1. Keutamaan membaca dzikir Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syarikalahu, lahul mulku walahulhamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadiir 100 kali atau lebih
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من قال لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير في يوم مائة مرة كانت له عدل عشر رقاب وكتبت له مائة حسنة ومحيت عنه مائة سيئة وكانت له حرزا من الشيطان يومه ذلك حتى يمسي ولم يأت أحد أفضل مما جاء به إلا أحد عمل أكثر من ذلك [رواه البخاري (3293)، ومسلم (2691)]ـ

Dari Abu Huroiroh, Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: 
“Barangsiapa membaca 
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Alloh semata, tiada sekutu bagi-Nya, semua kerajaan dan segala pujian hanyalah milik-Nya, dan Dia maha berkuasa atas segala sesuatu.)100 kali, maka baginya (pahala) memerdekakan 10 budak, dicatat 100 kebaikan baginya, dihapus 100 keburukan darinya, dzikir ini akan menjaganya dari (gangguan) setan pada hari itu hingga sore, dan tidak ada seorang pun yang amalannya melebihinya kecuali orang yang melakukan amalan lebih banyak dari itu. (HR. Bukhori dan Muslim)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barangsiapa yang mengucapkan: SUBHANALLAHI WABIHAMDIH (Maha suci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya) sehari seratus kali, maka kesalahan-kesalahannya akan terampuni walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Al-Bukhari no. 5926 dan Muslim no. 2691)

3. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ
“Barang siapa yang ketika pagi dan sore membaca: SUBHANALLAHI WABIHAMDIH (Maha suci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya) sebanyak seratus kali, maka pada hari kiamat tidak ada seorangpun yang akan mendatangkan amalan yang lebih utama daripada apa yang dia datangkan. Kecuali orang yang juga mengucapkan bacaan seperti itu atau lebih dari itu.” (HR. Muslim no. 2692)

4. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
“Dua ucapan yang ringan diucapkan tetapi berat timbangannya (pada hari kiamat) dan dicintai oleh Ar-Rahman. Yaitu: SUBHANALLAHI WABIHAMDIH (Maha suci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya) dan SUBHANALLAHIL AZHIM (Maha Suci Allah Yang Maha Agung).” (HR. Al-Bukhari no. 7563 dan Muslim no. 2694)

5. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya saya membaca: SUBHANALLAH (Maha Suci Allah) WAL HAMDULILLAH (segala pujian bagi Allah), WA LAA ILAHA ILLALLAH (tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah), WALLAHU AKBAR (Allah Maha Besar), itu lebih saya sukai daripada saya memiliki semua yang  matahari terbit padanya (dunia dan seisinya).” (HR. Muslim no. 2695)

6. Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, “Apakah ucapan zikir yang paling utama, ya Rasulullah?” Maka beliau menjawab:
مَا اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ أَوْ لِعِبَادِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
“Yaitu ucapan zikir yang Allah telah pilihkan bagi para malaikat-Nya atau hamba-hambaNya, yaitu: SUBHANALLAHI WABIHAMDIH (Maha suci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya).” (HR. Muslim no. 2731)



http://al-atsariyyah.com/tasbih-dan-keutamaannya.html
sumber gambar: 
http://www.basaer-online.com/wp-content/uploads/2011/04/images_articles_6-ebadaDoaa_thekr.jpg

Masih Ragukah Anda Bahwa Allah di Atas Semua MakhlukNya?

Alhamdulillahirabbil ‘alamin wa sholatu was salam ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘aalihi wa shohbihi wa sallam.

Dalam tulisan ini saya akan membawakan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang shahih yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhlukNya. Dan bahwasahnya Allah itu berada di atas, yaitu Allah beristiwa’ di atas Arsy. Dan inilah aqidah besar yang diimani oleh para Shalafus Sholih dan para Imam yang banyak diikuti pendapatnya. Hanya saja bukan dalam artikel ini penulis akan menyebutkan ucapan ulama yang sangat banyak jumlahnya yang beriman bahwasahnya Allah berada di atas langit, Allah berada di atas Arsy.

Sebelum saya bawakan dalil yang sangat banyak mengenai hal itu, saya akan menerangkan sikap kita dengan dalil-dalil yang menyebutkan tentang Asma’ dan Shiffat Allah. Yaitu kita beriman sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an atau yang disabdakan Rasulullah tanpa melakukan tahrif (penyelewengan makna), ta’thil (menolak), tasybih (menyamakan dengan makhluk), maupun takyif (menyanyakan bagaimananya/kaifiyahnya).