Mengamalkan Tauhid dengan Sebenar-benarnya Bisa Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab



Yang dibahas dalam bab ini:
A.    Perbedaan bab ini dan bab sebelumnya 
B.     Makna tahqiq tauhid (mengamalkan tauhid dengan sebenar-benarnya) dan macam-macamnya
C.     Sifat-sifat orang yang men-tahqiq tauhid   
  
A.     Perbedaan bab ini dengan sebelumnya
Keutamaan-keutamaan tauhid yang disebutkan di bab kedua adalah hak bagi orang bertauhid yang tidak melakukan kesyirikan baik akbar maupun asghar akan tetapi orang ini terkadang terjerumus kedalam maksiat-maksiat yang maksiat ini terhapus dengan tauhidnya.
Adapun bab ini lebih tinggi dari bab sebelumnya. Orang-orang yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun dan dia tidak punya dosa maksiat (ketika maksiat langsung bertaubat kepada Allah sehigga dosanya telah diampuni). Adapun orang yang sampai derajad sebelumnya maka terkadang ia diampuni oleh Allah dan terkadang diazab oleh Allah. (I’anatul mustafidz 74)
Bahasan pada bab kedua (yakni pada bab keistimewaan tauhid dan diampuninya dosa-dosa karenanya) didapatkan setiap orang yang bertauhid sedangkan bahasan pada bab ketiga (mengamalkan tauhid dengan murni sehingga masuk surga tanpa hisab) didapat oleh orang yang bertemu Allah tanpa dosa
Merealisasikan/mengamalkan tauhid dengan sebenar-benarnya maksudnya yakni membersihkan diri dari syirik (baik akbar maupun asghar), bid’ah, dan maksiat
Merealisasikan tauhid tidak akan terjadi kecuali dengan tiga perkara:
1.      Ilmu
Tidak mungkin bsia merealisasikan sesuatu kecuali harus mengilmui hakikat sesuatu itu. Tidak mungkin terlepas dari syirik, bid’ah, dan maksiat kecuali seseorang mengetahui haramnya hal tersebut.
2.      I’tiqad (Keyakinan)
Jika mengilmui (tahqiq tauhid) tetapi tidak meyakini bahkan justru sombong maka orang ini tidak dikatakan mentahqiq tauhid. Sebagaimana perkataan orang-orang musyrik dalam Al Qur’an:
أَجَعَلَ ٱلْءَالِهَةَ إِلَٰهًۭا وَٰحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَىْءٌ عُجَابٌۭ
Artinya:
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. (QS. Shad:5)
3.      Inqiyad (Tunduk)
Jika mengilmui dan meyakini tapi tidak tunduk dan patuh bahkan dia malah sombong maka tidak dikatakan men-tahqiq tauhid. Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَ يَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
Artinya:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka “laa ilaaha illallah” mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami lantaran seorang penyair gila.” [QS. ash-shooffaat/37: 35-36].

B.     Makna tahqiq tauhid dan jenisnya
Men-tahqiq tauhid adalah Membersihkan diri dari syirik (baik akbar maupun asghar), bid’ah, dan maksiat
Jenis orang yang men-tahqiq tauhid ada dua macam:
1.      Tahqiq yang wajib
Seseorang dapat membersihkan tauhid dari syirik (baik akbar maupun asghar), bid’ah, dan maksiat
2.      Tahqiq yang mandub/sunnah
Orang yang dia sudah men-tahqiq yang wajib di samping itu dia melakukan amalan-amalan yang disunnahkan dan dia meninggalkan hal-hal yang makruh dan dia meninggalkan sebagian mubah yang dia khawatirkan melalaikan dari akhirat.

Manakah orang yang bisa tanpa azab dan tanpa hisab?
Cukup tahqiq wajib sudah mencukupi, orang yang men-tahqiq tauhid yang mandub derajatnya lebih tinggi

C.  Sifat-sifat Orang yang Men-tahqiq Tauhid

a) Bersifat sebagaimana sifat imamnya orang yang bertauhid yakni Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
  Firman Allah Subhanahu wata’ala :
]إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ [(120) سورة النحل
Artinya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (berpegang teguh pada kebenaran), dan sekali kali ia bukanlah termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan)” (QS, An Nahl, 120)
Sifat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berdasarkan ayat di atas adalah:
1.    Beliau adalah ummah (أُمَّةً) (qudwah wal imam fil khoir) = teladan dan imam dalam kebaikan.
2.  Qaanitaat  (قَانِتًا= senantiasa istiqomah kepada Allah, tetap dalam ketaatan kepada Allah walaupun sedikit, dan mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah.
3.    Hanif (حَنِيفًا ) =  berpaling dari kesyirikan menuju tauhid.
4.  (وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَDan tidak termasuk orang-orang yang musyrik = tidak termasuk orang musyrik dalam perkataan, tidak dalam amalnya, tidak juga dalam keyakinan beliau Ibrahim ‘alaihissalam. Nabi Ibrahim mengingkari kaumnya yang melakukan kesyirikan dan berlepas diri dari mereka.

Islam: Pasrah kepada Allah dengan tauhid, tunduk dengan ketaatan, berlepas diri dan benci dengan kesyirikan.

b)  Orang yang bersifat sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Mukminun ayat 57-60
إِنَّ ٱلَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ
وَٱلَّذِينَ هُم بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ
وَٱلَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ

Artinya”
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (QS. Al Mukminun:57-60)

Penjelasan ayat
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka,
Maksud dari ayat di atas yakni membenarkan Al Qur’an dan mentadaburinya dan sibuk dengan Al Qur’an, dia memperhatikannya dan mengamalkan yang ada dalam Al Qur’an. Apa-apa yang Allah perintahkan mereka lakukan dan apa-apa yang Allah larang maka mereka tingalkan. Dan apa-apa yang Allah kabarkan mereka membenarkan dan imani baik yang ghaib maupun tidak. Dan sesuatu yang samar dalam Al Qur’an  mereka kembalikan ilmunya kepada Allah

Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun),
Inilah dia tahqiq tauhid, yakni tidak melakukan kesyirikan selama-lamanya baik asghar maupun akbar. Maka mereka ini orang-orang yang benar-benar men-tahqiq tauhid.

‘”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka,
Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan ketaatan dengan hati yang takut jika amal mereka tidak diterima.
Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka: menafikan pada diri mereka rasa bangga terhadap amal yang mereka lakukan, dia tidak bangga dan dia takut amalnya tidak diterima. Tidak mungkin kita bisa beramal kecuali karna kita mendapat hidayah taufiq dari Allah. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan dalam beribadah kepada Allah. Mereka yakin amalnya semata-mata karunia dari Allah
]والذين هم بربهم لا يشركون[
Artinya:
“Dan orang orang yang tidak mempersekutukan dengan Robb mereka (sesuatu apapun)”. (QS. Al Mu’minun, 59)
( I’anatul mustafidz 78-80)

c) Tidak Meminta Diruqyah, Tidak Melakukan Tathayyur, Tidak Melakukan Kai, dan Bertawakal kepada Allah
          Husain bin Abdurrahman As Sulami (salah satu tabi’in yang tsiqoh) berkata: “Suatu ketika aku berada di sisi Said bin Zubair (termasuk dari pembesar tabi’in baik dalam ilmu, wara, dan kefaqihan), lalu ia bertanya : “siapa diantara kalian melihat bintang yang jatuh (bintang yang digunakan untuk melempar syaithan) semalam ?, kemudian aku menjawab : “ aku ”, kemudian kataku : “ ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak sedang melaksanakan sholat, karena aku disengat kalajengking”, lalu ia bertanya kepadaku : “lalu apa yang kau lakukan ?”, aku menjawab : “aku minta di ruqyah ([1])”, ia bertanya lagi : “apa yang mendorong kamu melakukan hal itu ?”(tradisi para salaf selalu beramal dengan dalil), aku menjawab : “yaitu : sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asy Sya’by kepada kami”, ia bertanya lagi : “dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu ?”, aku menjawab : “dia menuturkan hadits kepada kami dari Buraidah bin Hushaib :
"لا رقية إلا من عين أو حمة"
“Tidak boleh Ruqyah kecuali karena ain([2]) atau terkena sengatan (binatang berbisa)”.
(ini tidak menunjukkan pembatasan dalam ruqyah)
         Said pun berkata : “Sungguh telah berbuat baik orang yang telah mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi Ibnu Abbas menuturkan hadits kepada kami dari Rasulullah, beliau bersabda :
"عرضت علي الأمم، فرأيت النبي معه الرهط، والنبي معه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه أحد، إذ رفع لي سواد عظيم، فظننت أنهم أمتي، فقيل لي : هذا موسى وقومه، فنظرت فإذا سواد عظيم، فقيل لي : هذه أمتك، ومعهم سبعون ألفا يدخلون الجنة بغير حساب ولا عذاب، ثم نهض فدخل منزله، فحاض الناس في أولئك، فقال بعضهم : فلعلهم الذي صحبوا رسول الله r، وقال بعضهم : فلعلهم الذين ولدوا في الإسلام فلم يشركوا بالله شيئا، وذكروا أشياء، فخرج عليهم رسول الله أخبروه، فقال :" هم الذين لا يسترقون ولا يتطيرون ولا يكتوون وعلى ربهم يتوكلون " فقام عكاشة بن محصن فقال : ادع الله أن يجعلنى منهم، فقال : أنت منهم، ثم قال رجل آخر فقال : ادع الله أن يجعلني منهم، فقال  :" سبقتك عكاشة ".

“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat (terjadi pada saat malam isra mi’raj), lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang, dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja, dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorangpun yang menyertainya, tiba tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku : bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya, tiba tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku : mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang  yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu, kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu ?, ada diantara mereka yang berkata : barangkali mereka itu orang orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya, dan ada lagi yang berkata : barang kali mereka itu orang orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.

Kemudian Rasulullah ShallAllahu’alaihi wasallam keluar dan merekapun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta ruqyah, tidak melakukan tathoyyur ([3]) dan tidak pernah melakukan kai (meminta lukanya ditempeli besi yang dipanaskan), dan mereka pun bertawakkal kepada tuhan mereka, kemudian Ukasyah bin Muhshon berdiri dan berkata : mohonkanlah kepada Allah  agar aku termasuk golongan mereka, kemudian Rasul bersabda : “ya, engkau termasuk golongan mereka”, kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata : mohonkanlah kepada Allah  agar aku juga termasuk golongan mereka, Rasul menjawab : “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah” (HR. Bukhori & Muslim)

Hadits 70 ribu orang yang bisa masuk surga tanpa azab dan tanpa hisab tidak menunjukkan pembatasan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setiap 1000 dari 70.000 tadi ada 70.000 lagi. Dari Abu Umamah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,

وَعَدَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَبْعِينَ أَلْفاً بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ أَلْفاً


Rabbku ‘azza wa jalla telah menjajikan padaku bahwa 70.000 orang dari umatku akan dimasukkan surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Setiap 1000 dari jumlah tersebut terdapat 70.000 orang lagi.” (HR. Ahmad 5: 268. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dan sanad hadits ini hasan). Berarti berdasarkan hadits ini ada 4.900.000 orang yang dimaksud.

Nabi menjelaskan sifat orang-orang yang dapat men-tahqiq tauhid:
1.   Orang yang tidak meminta orang lain untuk meruqyahnya karna kuatnya tawakkal mereka kepada Allah dan karna kemuliaan jiwa mereka untuk merendahkan diri kepada selain Allah. 
2.    Tidak meminta orang lain utnuk meng-kai dengan api. Kai hukumnya makruh.
3.    Tidak tathayyur. Tidak menganggap sial karena terbangnya seekor burung ke arah tertentu, atau tidak beranggapan sial dengan bulan/waktu tertentu.
4.    Hanya kepada Allah mereka bertawakkal. Tawakal: hanya bersandar kepada Allah di dalam dia mendapat segala perkara yang bermanfaat dan di dalam mencegah kemudharatan disertai mencari sebab yang terbukti secara syar’I dan qodari.


([1])    Ruqyah, maksudnya di sini, ialah : penyembuhan dengan bacaan ayat-ayat Al qur’an atau doa-doa.
([2])  Ain, yaitu : pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang, melalui pandangan matanya. Disebut juga penyakit mata.
([3])  Tathoyyur ialah : merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.
([4])  Karena beliau bersabda kepada seseorang : “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah”, dan tidak bersabda kepadanya : “Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka”.

Adab Menuju Shalat


Kita sangat butuh terhadap adab ini untuk kita amalkan sebagai persiapan untuk melaksanakan shalat karena shalat merupakan ibadah yang agung yang selakyaknya didahului dengan persiapan yang sesuai supaya seorang muslim masuk dalam ibadah ini dengan penampilan yang paling sempurna.
Adab yang pertama: apabila anda berjalan menuju masjid untuk menunaikan shalat bersama jamaah kaum muslimin maka hendaknya berjalan dengan penuh ketenangan dan wibawa.
Yang dimaksud ketenangan adalah tenang dan pelan-pelan, tidak tergesa-gesa ketika berjalan.
Kemudian tenang, ghadur bashar, merendahkan suara (tidak berteriak-teriak), dan tidak banyak menoleh.
Adapun hadits yang menunjukkan disyariatkannya tenang dalam berjalan dalam shalat adalah hadits dalam shahihain:
إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
 “Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat, dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.”(HR. Al-Bukhari no. 117 dan Muslim no. 602)

Dari Abu Qatadah -radhiallahu anhu- dia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ جَلَبَةَ رِجَالٍ. فَلَمَّا صَلَّى, قَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قَالُوا: اسْتَعْجَلْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوا إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
 “Ketika kami sedang shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh beberapa orang. Maka setelah selesai, beliau bertanya, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Kami tergesa-gesa mendatangi shalat.” Beliau pun bersabda, “Janganlah kalian berbuat seperti itu. Jika kalian mendatangi shalat maka datanglah dengan tenang, apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 599 dan Muslim no. 603)

Adab kedua: hendaknya kamu keluar menuju masjid dengan bersegera (diawal waktu) agar kamu mendapat takbiratul ihram.
Barang siapa yang mendapat takbiratul ihram imam selama 40 hari akan dicatat baginya dua hal.
“Siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah dia mendapatkan takbir yang pertama maka akan dicatat baginya dua pembebasan: kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan” (HR. Tirmidzi)
Sa’id bin Musayyib rahimahullah pernah berkata bahwa selama 20 tahun dia mendapat takbiraul ihram imam.
Pendekkanlah langkahmu ketika berjalan menuju shalat agar pahala yang kau mendapatkan banyak pahala.
Dalam shahihain:
Nabi ﷺ bersabda: "Apabila salah seorang kalian berwudhu dan menyempurnakannya dan dia keluar menuju masjid. Tidak ada yang membuatnya keluar kecuali shalat. Tidaklah ia melangkahkan kakinya kecuali diangkat untuknya satu derajad dan dengan langkah itu akan dihapus satu kesalahannya."
Adab ketiga: apabila anda sampai di depan pintu masjid maka dahulukan kaki kanan ketika masuk dan bacalah:
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، [بِسْمِ اللهِ، وَالصَّلاَةُ][وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ] اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajahNya Yang Mulia dan kekuasaanNya yang abadi, dari setan yang terkutuk.[1] Dengan nama Allah dan semoga shalawat[2]dan salam tercurahkan kepada Rasulullah[3] Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmatMu untukku.” (HR Muslim 1/494) 
Dan ketika keluar dahulukan kaki kiri dan bacalah:
– بِسْمِ اللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ، اَللَّهُمَّ اعْصِمْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
Artinya: “Dengan nama Allah, semoga sha-lawat dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepadaMu dari karuniaMu. Ya Allah, peliharalah aku dari godaan setan yang terkutuk”. (Shahih Ibnu Majah 129)
Masjid merupakan tempat dibukakannya pintu rahmat dan ketika keluar masjid merupakan tempat mencari rizki yang merupakan karunia dari Allah 

Adab keempat: jika telah masuk masjid maka jangan duduk sampai shalat dua rakaat tahiyatul masjid sebagai penghormatan terhadap masjid

Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila kalian masuk masjid maka janganlah duduk sampai ia shalat dua rakaat” (HR. Muslim)
Hukum asal larangan adalah haram sampai ada dalil yang memalingkannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat tahiyatul masjid hukumnya wajib karena tidak ada yang memalingkan namun yang lebih kuat adalah ada dalil yang memalingkan sehingga hukumnya turun menjadi sunnah.

Adab kelima: hendaknya duduk menunggu shalat dengan kondisi sibuk dengan dzikir, tilawah al quran, dan menjauhi perbuatan yang sia-sia.

Contoh perbuatan sia-sia adalah tasybik (menganyam kedua jari). Telah datang larangan tasybik ketika menunggu shalat:
”Ketika salah seorang diantara kalian di masjid janganlah melakukan tasybik karena itu dari setan”
Adapun orang yang di masjid tidak untuk menunggu shalat maka tidak dilarang untuk tasybik.
Nabi pernah melakukan tasybik setelah salam dari shalat.

Adab keenam: dalam menunggu shalat dalam masjid janganlah tenggelam dalam pembicaraan dunia

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa membicarakan perkara dunia ketika menunggu shalat bisa memakan kebaikan sebagaimana kayu membakar kayu bakar namun haditsnya lemah sehingga hal ini tidak sampai haram mungkin makruh saja kecuali menggibah dan yang semisalnya maka ini bisa memakan kebaikan kita.
Seorang hamba dihitung shalat selama dia menunggu shalat dan malaikat memohon ampun kepada Allah untuknya selama anda menunggu shalat. Janganlah kamu melakukan perbuatan sia-sia dan menyibukkan diri dengan gosip yang tidak jelas kebenarannya.