Masih Ragukah Anda Bahwa Allah di Atas Semua MakhlukNya?

Alhamdulillahirabbil ‘alamin wa sholatu was salam ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘aalihi wa shohbihi wa sallam.

Dalam tulisan ini saya akan membawakan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang shahih yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhlukNya. Dan bahwasahnya Allah itu berada di atas, yaitu Allah beristiwa’ di atas Arsy. Dan inilah aqidah besar yang diimani oleh para Shalafus Sholih dan para Imam yang banyak diikuti pendapatnya. Hanya saja bukan dalam artikel ini penulis akan menyebutkan ucapan ulama yang sangat banyak jumlahnya yang beriman bahwasahnya Allah berada di atas langit, Allah berada di atas Arsy.

Sebelum saya bawakan dalil yang sangat banyak mengenai hal itu, saya akan menerangkan sikap kita dengan dalil-dalil yang menyebutkan tentang Asma’ dan Shiffat Allah. Yaitu kita beriman sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an atau yang disabdakan Rasulullah tanpa melakukan tahrif (penyelewengan makna), ta’thil (menolak), tasybih (menyamakan dengan makhluk), maupun takyif (menyanyakan bagaimananya/kaifiyahnya).


Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata :
Sikap kita adalah memahami apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah tersebut apa adanya tanpa memalingkan kepada makna yang lain. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab (yang jelas), Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berbicara juga dengan bahasa Arab, maka kita wajib memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya sesuai dengan tuntutan bahasa tersebut tanpa memalingkan maknanya, karena merubah /memalingkan maknanya sama saja degan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu. (Terjemahan Syarah Lum’atul hlm 32, Penerbit Media Hidayah)

Imam Ahmad berkata : Tidak boleh mensifati Allah kecuali dengan apa yang Allah sifati untuk diriNya atau yang disifatkan oleh RasulNya. (Majmu’ Fatawa 5/26). Menjelaskan kalimat ini Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : Yaitu kita tidak boleh mensifati Allah kecuali dengan apa yang Allah sifatkan untuk diriNya dalam KitabNya. Atau berdasarkan lisan RasulNya (Syarah Aqidah Wasithiyyah 1/75)

Diantara ulama yang mengatakan perkataan yang sama :
Sufyan bin ‘Uyainah : Apa-apa yang Allah sifatkan untuk dirinya di dalam KitabNya, maka qiroahnya adalah tafsirnya (tanpa melakukan tahrif, pent). Tidak berhak bagi seorangpun untuk menafsirkan dengan Arobiyah maupun dengan Persia (menolak tahrif, pent). (Al-Asma wa Shiffat 2/117). Dikatakan oleh pentahqiq bahwa hal tersebut shahih dari Sufyan bin Uyainah

Ibnu Abi Ya’la : Sesungguhnya perkara (dalam menetapkan asma’ wa shiffat) adalah mengimaninya sebagaimana datangnya tanpa takwil (menyelewengkan makna, pent), tanpa tafsir, tanpa tajsim (menyerupakan dengan makhluk, pent), tanpa tasybih (menyerupakakan). Sebagaimana yang dilakukan oleh Shahabat dan Tabi’in dan hal demikian itu wajib. (Al-I’tiqod libni Abi Ya’la hlm 31, syamilah)

Dan sebetulnya masih banyak lagi perkataan yang hamper senada dengan ucapan ulama tersebut.

Berikut diantara dalil-dalil yang sangat banyak jumlahnya yang menunjukkan Ketinggian Allah di atas seluruh MakhlukNya. Dan Allah berada di atas Arsy.

      A.    Dalil Dari Al-Qur’an

     a.      Datang dalam bentuk istawa

Ayat yang menunjukkan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy dalam Al-Qur’an ada tujuh tempat.
Dalam Surat Al-A’rof ayat 54 :

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian istiwa’ di atas Arsy. (QS. Al-A’rof : 54)

Ayat yang menggunakan lafadz ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ  selain di Al-A’rof ayat 54 juga ada di Yunus : 3, Ar-Ra’d : 2, Al-Furqon : 59, As-Sajdah : 4, Al-Hadid : 4.
Dan dalam Surat Thoha : 5 dengan lafadz yang agak berbeda 

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Yang Maha Penyayang beristiwa’ di atas Arsy” (QS. Thoha : 5)

Perlu diketahui bahwa اسْتَوَى (istawa) disini maknanya adalah علا (tinggi/ di atas). (Silahkan lihat Syarah Aqidah Wasithiyah Syaikh Utsaimin 1/374, lihat pula tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Mujahid)
Tidak sebagaimana Ahlu Ta’thil yang mereka memaknai istawa dengan istaula yang berarti berkuasa. Ini jelas menyelisihi makna sesungguhnya dari istawa dan menyelisihi salafush sholih dalam memaknainya.
      
b.      Datang dalam lafadz “Tinggi” (‘Uluw wa Fauqiyyah)

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar” (Al-Baqoroh : 255)

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
Dan Dialah yang berkuasa di atas hamba-hambaNya (Al-An’am : 18)

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” ( An Nahl : 50)

c.       Dalam bentuk turunnya sesuatu dariNya

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ
Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi (As-Sajdah : 5)

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an) (Al-Hijr : 9)
Dan ayat lain yang serupa dengannya yang masih banyak daam Al-Qur’an. Turunnya sesuatu dari Allah menunjukkan bahwa Allah berada di atas

d.      Dalam bentuk naiknya sesuatu kepadaNya

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
KepadaNya-lah akan naik kalimat yang baik dan amal sholih Dia akan mengangkatnya (Fathir : 10)

تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
Para malaikat dan Jibril naik kepadaNya (Al-Ma’arij : 4)
Faidah lain dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa Alam Semesta ini sangatlah megah, hal ini mengingatkan kepada kita bahwa kita itu tidak ada apa-apanya. Jadi jangan pernah menjadi orang yang sombong…

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tetapi Allah telah mengangkat Isa kepadaNya (An-Nisa : 158)
Ayat-ayat di atas yang menyebutkan naiknya sesuatu kepada Allah atau diangkatnya sesuatu kepadaNya melazimkan bahwa Allah berada di atas, Allah berada di ketinggian.


e.       Dalam bentuk “di atas langit”


أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا
Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang berada di (atas) langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu? (Al-Mulk : 17)

Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya : (أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ) وهو الله
“(Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang berada di (atas) langit) Dia adalah Allah” Silahkan dicek di tafsir beliau Jilid 23 halaman 513, syamilah

Mungkin anda akan bertanya, lhoh anda tidak konsisten, dalam ayat tersebut disebutkan فِي yang artinya “di”. Berarti Allah ada di langit, bukan di atas langit??

Jawabannya : فِي  disitu harus diartikan عَلَيْ   (di atas), sebagaimana anda mengatakan “di bumi”, apakah maksudnya di kerak bumi? Tentu saja maksudnya adalah “di atas” bumi.

Atau dengan mengatakan bahwa السَّمَاءِ  disitu artinya adalah العلو (ketinggian). Sehingga bisa dimaknai “Dia yang berada di ketinggian”. Dan ini adalah sesuatu yang diterima oleh Bahasa Arab, sehingga tidak ada lagi kebingungan mengenai lafadz tersebut. Walhamdulillah

Penjelasan ini saya rangkum dari Syarah Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 1/398, Syarah Aqidah Wasithiyah Kholil Harras hlm 145,

Imam Baihaqi dalam Al-Asma’wa Shiffat 2/330 berkata :
“Dan makna firmanNya dalam ayat مَنْ فِي السَّمَاءِ  yaitu di atas langit di atas Arsy sebagaimana yang disebutkan oleh Kitab dan Sunnah”

       f.       Kisah Fir’an

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
Dan Fir’aun berkata : “Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai kepintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhannya Musa, tetapi aku tetap memandangnya sebagai pendusta” (Ghofir : 36-37)

Ayat tersebut sebuah kisah bahwa Fir’aun ingin naik ke langit sehingga dengan itu dia bisa melihat Tuhannya Musa yang berada di atas langit.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata :
“Yang tampak dari ayat tersebut adalah : Bahwa Fir’aun memerintahkan untuk membangun bangunan yang tinggi agar dia dapat melihat Tuhannya Musa menunjukkan bahwa Musa ‘alaihis salam telah berkata kepada Fir’aun : ‘Sesungguhnya Allah di atas langit’” (Syarah Aqidah Wasithiyah 1/340)

Ibnu Jarir dalam tafsirnya :
وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا   (Aku memandangnya sebagai seorang yang pendusta) : aku memandang bahwa Musa berdusta ketika mengatakan dan mendakwahkan bahwa di (atas) langit ada Tuhan yang mengutus Musa kepada kami (Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thobari 21/387, syamilah)

Demikian tadi sebagian dalil dari Al-Qur’an bahwa Allah berada di atas seluruh makhluknya, Allah berada di atas Arsy. Dan sebetulnya masih ada dalil yan lain, akan tetapi terlalu panjang untuk disebutkan semuanya.

      B.     Dalil Dari Hadits

      a.       Dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan tentang langit bersabda :

و الله فوق العرش

“Dan Allah (berada) di atas Arsy” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di Kitab Tauhid, Al-Laalikai di Syarh Sunnah, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Ad-Darimi dalam Ar-Rod alal Jahmiyyah, adz-Dzahabiy dalam al-‘Uluw : Sanadnya shahih

Berikut hadits yang menyebutkan bahwa Allah di (atas) langit

أَلاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku adalah kepercayaan (Dia) yang berada di (atas) langit?” (HR Bukhori 4351 dan Muslim 1064 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

      b.      Dalm bentuk perbuatan Nabi

Yaitu Kisah Rasulullah ketika berkhutbah di Arofah pada saat tahun dimana Rasulullah melakukan Haji Wada’ dimana para Shahabat berkumpul ketika itu mendengarkan khutbah beliau. Ketika itu beliau bersabda :

“Apakah aku telah menyampaikan (risalah)?” Para Shahabat menjawab : “Ya”, beliau berkata lagi, “Apakah aku telah menyampaikan?” Para Shahabat menjawab, “Ya”
Kemudian Rasulullah bersabda,
“Ya Allah! Persaksikanlah” beliau sambil berisyarat menunjuk ke langit dengan jarinya
(HR. Muslim 1218 dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Hadits yang panjang tentang Sifat Haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

      c.       Dalam bentuk taqrir Nabi (Diamnya Nabi dalam rangka menyetujui)

Yaitu dalam Hadits Mu’awiyah bin al-Hakam radhiyallahu ‘anhu, sesunguhnya dia datang menemui Jariyah dimana beliau ingin membebaskannya, Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Jariyah

“Dimana Allah?” Dia menjawab, “di (atas) langit”
Kemudian Nabi bertanya lagi “Siapa saya?” Dia berkata, “Rasulullah (utusan Allah)”
Kemudian Nabi bersabda, “Bebaskanlah dia! Karena sesungguhnya dia adalah mukminah”
(HR. Muslim 537 dari hadits Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiyallahu ‘anhu)


Demikian tadi beberapa dalil yang sangat tegas yang menjelaskan sebuah aqidah besar yang shahih, dan itu baru sebagian dalil saja, masih ada beberapa dalil yang lainnya baik dari Al-Qur’an dan Sunnah maupun Ijma’ ulama.

Yang aqidah ini sudah banyak orang yang menyelisihinya dari kalangan Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy-‘ariyyah. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kami untuk berada dalam aqidah yang shahihah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak dianut juga oleh para Shahabat, Tabi’in,

Alhamdulillah bini’matihi tatimush shoolihaat

copas dari ikhwanafillah.blogspot.com
SHARE

Jarvis

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment