Fikih Wadah

Fikih Wadah
wadah

Wadah/bejana menurut ahli bahasa, yaitu setiap tempat yang bisa menampung benda lain. Wadah boleh terbuat dari bahan apa saja, seperti kulit, batu, emas, besi, perak, perunggu, dan lainnya. Ada wadah yang boleh digunakan dan ada yang tidak boleh digunakan, baik untuk thoharoh maupun selainnya.
bejana

Terkait wadah, ada beberapa larangan yang perlu diperhatikan:

1. Terlarang menggunakan wadah yang mengandung emas dan perak (baik olesan, sepuhan, murni) untuk makan atau minum dan hal ini merupakan ijma' (kesepakatan) para ulama , kecuali wadah retak yang ditambal seperti garis dengan perak sedikit maka hal ini boleh.
Dalil terlarangnya menggunakan wadah yang terbuat dari emas atau perak untuk makan dan minum adalah
“Jangan kalian minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak dan jangan pula kalian makan di piringnya karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).” 

[HR. Bukhari, No. 5426 dan Muslim, No. 2067] 

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

“Orang yang minum dari gelas perak, sesungguhnya dia menumpahkan api neraka ke dalam perutnya.” (Bukhari Muslim dari riwayat Ummu Salamah) 
Adapun dalil bolehnya menggunakan wadah yang terdapat tambalan dari perak adalah hadits berikut
Dari Anas bin Malik rodiyalloohu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollalloohu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak.” 
(HR. Al-Bukhory)
 Tambalan dengan perak itu diperbolehkan dengan 4 syarat :
1) Berbentuk tambalan (سِلْسِلَةً)
2.) Sifatnya sedikit tambalan itu ;
3.) Hanya dibolehkan dari perak saja, emas tidak boleh ;
4.) Hal itu dilakukan karena hajat (ada kebutuhan)
Mengenai penggunaan wadah emas dan perak untuk selain makan dan minum terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama

1. Pendapat pertama adalah terlarang menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak untuk semua penggunaaan. Pendapat ini dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama dan juga dipilih oleh Ibnu Qudamah.

Dalil yang digunakan jumhur adalah
 “ … karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).”

Menunjukkan seakan penggunaannya tidak terbatas pada perkara makan dan minum saja dan karena dasar ‘illah-nya adalah kecenderungan hati untuk bermegah-megahan dengan emas dan perak. Apalagi sebagian sahabat mencela penggunaan emas dan perak dalam bentuk isti’mal (menggunakannya) sebagaimana dalam sebagian riwayat ‘Aisyah dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma.
2. Pendapat kedua adalah boleh menggunakan wadah yang terbuat dari emas atau perak untuk selain makan dan minum. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa penggunaan (selain makan, minum) diperbolehkan. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Author , dalam kitab Ad DurorulBahiyah, Imam Ash Shon’ani dalam SubulussalamSyaikh Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti dan ini adalah pendapat yang lebih kuat, wallahu a'lam.
Dalil yang digunakan pendapat ini adalah
Dari ‘Utsman ibnu ‘Abdillah ibnu Mauhib, ia berkata, “Keluargaku mengutus saya kepada Ummu Salamah dengan membawa gelas berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak yang berisi rambut Nabi. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal, maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian. “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut berwarna merah,” kata‘Utsman.

[HR. Bukhory dalam Kitaabul Libaas]
Penjelasan Hadits :
Genta (jaljal) berbentuk seperti lonceng dan terbuat dari perak. ‘Ummu Salamah menyimpan beberapa helai rambut Rasullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam genta tersebut dan digunakan oleh orang-orang ketika sakit untuk bertabarruk (meminta berkah) dengan zat Nabi, Hal itu ada dalam atsar bahwa Allah subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keberakahan pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi keberkahan itu hanya khusus pada Nabi saja dan tidak kepada selain beliau. Ummu Salamah meletakkan rambut Rosululloh dalam jal-jal yang terbuat dari perak menunjukkan bolehnya penggunaan bejana emas dan perak, selain perkara makan dan minum.Dalil lainnya adalah kaedah umum yang berbunyi

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يرد دليل بالمنع

"Segala sesuatu itu halal hukumya (boleh digunakan) kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
Maksud kaidah diatas bahwa semua benda adalah suci (tidak najis) kecuali ada keterangan dari Al-Qur'an maupun hadist yang menunjukan haramnya sesuatu benda. Dengan demikian benda yang haram sedikit sekali dibanding benda yang halal.

Berdasarkan kaedah di atas dan dalil yang ada, yang dilarang adalah penggunaan emas atau perak untuk makan dan minum, adapun selain hal tersebut maka diperbolehkan, wallahu a'lam.
Tetapi, tidak ada salahnya jika kita bersikap wara (berhati-hati) dengan mengindari pemakaian bejana/wadah yang terbuat dari emas dan perak sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama yang lebih berhati-hati. Apalagi jika disertai sifat bermegah-megahan dan ini tentunya akan lebih mengarah kepada hal yang diharamkan.

Makan dan minum menggunakan bejana dari emas dan perak merupakan dosa besar karena diancam dengan neraka. dan kaedah dalam masalah ini adalah setiap dosa yang diancam dengan neraka maka dosa tersebut termasuk ke dalam dosa besar.

Hikmah dari larangan  ini adalah:
  1. Agar tidak menyerupai orang-orang kafir
  2. Agar tidak boros
  3. Agar tidak menyakiti hati orang-orang miskin
Ada pertanyaan: bagaimana hukum menggunakan permata atauintan untuk makan dan minum?
Jawab: Hukum asalnya boleh, hanya saja jika bisa mengantarkan kepada kesombongan maka tidak boleh karena yang dilarang berdasarkan dalil adalah emas dan perak.

2. Terlarang wadah terbuat dari kulit bangkai kecuali setelah disamak untuk binatang yang boleh dimakan.

Wadah yang terbuat dari kulit bangkai binatang yang boleh dimakan yang telah disamak boleh digunakan baik kering atau basah. Yang memilih bolehnya adalah jumhur(mayoritas) ulama karena adanya hadits shohih yang membolehkan penggunaan kulit bangkai setelah disamak.
 Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”
[HR. An Nasa’i, No. 4241, At Tirmidzi No. 1728, Ibnu Majah No. 3609, Ad-Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir Wa ZiyadatuhuNo. 4476 mengatakan hadits ini shohih]
Hadits Ibnu Abbas tegas sekali menunjukkan apabila  kulit bangkai sudah disamak, maka terhukumi suci.
Dan telah menceritakan kepadaku Abu ath-Thahir dan Harmalah keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah dariIbnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendapati kambing mati yang telah diberikan sebagai sedekah kepada maula Maimunah, maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Mengapa kalian tidak memanfaatkannya dengan menyamaknya?" Mereka berkata, "Ia sudah menjadi bangkai." Maka beliau bersabda, "Yang diharamkan hanyalah memakannya."  [HR. Muslim, No.543]
Hadits diatas menunjukkan bahwa yang diharomkan hanya memakannya. Ada pun jika kulitnya sudah disamak, maka suci. Pendapat yang inilah yang lebih mendekati bahwa kulit bangkai yang sudah disamak, maka hukumnya suci. Jika belum disamak, maka masih najis.Apakah kulit babi dan hewan haram lainnya juga termasuk dalam hadis ini? Sehingga ketika kulit babi itu disamak maka statusnya suci dan boleh dimanfaatkan?

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kulit anjing atau babi, tidak bisa menjadi suci dengan disamak. Sementara itu, hadis ini hanya berlaku untuk kulit bangkai binatang yang halal dimakan. Misalnya, sapi yang mati tanpa disembelih maka menjadi (bangkai), kemudian kulitnya disamak, maka status kulit ini menjadi suci dan boleh dimanfaatkan.
Diantara ulama yang memilih pendapat ini adalah Imam As-Syafii. Dalam kitab Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi menyatakan,

مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ جَمِيعُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْمُتَوَلِّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا

Pendapat As-Syafii, bahwa kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah semua kulit bangkai binatang, kecuali anjing, babi, dan spesies keturunannya. (Syarh Shahih Muslim, 4/54).

Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa kulit binatang ada 3 macam:

1. Kulit binatang yang statusnya suci dan boleh dimanfaatkan, meskipun tidak disamak. Itu adalah kulit hewan yang halal dimakan dan disembelih dengan cara yang benar.

2. Kulit binatang yang tidak bisa disucikan, meskipun telah disamak. Statusnya tetap najis, apapun keadaannya. Itulah kulit semua binatang yang haram dimakan, seperti babi atau anjing.

3. Kulit binatang yang suci setelah disamak, dan najis jika tidak disamak. Itulah kulit bangkai binatang yang halal dimakan, seperti kulit bangkai sapi, dst.  (Liqa’at Bab Al-Maftuh, Volume 52, no. 8).

Alat-alat yang digunakan untuk menyamak kulit yaitu sesuatu yang tajam rasanya atau kelat seperti tawas, cuka, asam, limau dan sebagainya.
Cara menyamak kulit binatang :
  • Terlebih dahulu hendaklah dipisahkan kulit binatang dari anggota badan binatang (setelah disembelih)
  • Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit.
  • Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi.
  • Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.
wallahu a'lam
Sumber:
Kitab mulakhos fiqhiy
catatandars.blogspot.com

Thaharah dan Pembagian Air












Pengertian Thaharah
  • Thaharah secara bahasa berarti bersih dari kotoran konkret dan abstrak
  • Thaharah secara syar’i berarti menghilangkan hadats dan hilangnya najis
Pembagian Thaharah

Para ulama membagi thaharah menjadi dua :
  1. Thaharah maknawiyah (yang abstrak)
Yaitu membersihkan diri dari kotoran dan najisnya perbuatan syirik (menyekutukkan Allah), kekufuran, kenifaqkan, begitu juga membersihkan diri kita dari perbuatan bid’ah dan kemaksiatan.
Dalil tetang ini adalah firman Allah Ta’ala :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“ Ambilah shadaqah (zakat) dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” (Qs. At Taubah : 103)

        2.  Thaharah hissiyyah (yang konkret)

Yaitu dibagi menjadi dua :

1. Membersihkan dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
2. Membersihkan dari najis.

Adapun yang dibahas para ulama dalam kitab fiqih mereka adalah jenis yang kedua yaitu thaharah hissiyyah.

Untuk menghilangkan hadats, pelakunya harus memiliki niat sedangkan hilangnya najis sah tanpa niat, yang penting hilang najisnya

Air

Air dibagi menjadi 3 yakni: air mutlak, air muqayyad, dan air musta'mal

1. Air Mutlak

- Air mutlak adalah air yang masih dalam bentuk penciptaan aslinya, misalnya: hujan, salju, embun, air sumur, sungai, dll.

- Warnanya putih/belerang, kuning, rasanya apakah tawar, asin yang jelas dia berada diatas penciptaannya.

Air mutlak suci dan mensucikan

Dalil sucinya air mutlak  adalah firman Allah Ta’ala :

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“ Dan Kami menurunkan dari langit air yang amat suci. “ (Qs. Al Furqaan : 48)

Dan dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda tentang air laut dan juga air sumur :

“ Ia (air laut itu) suci airnya halal bangkainya.”

 (HR. Ibnu Majah, Imam Malik, Abu Dawud dan selain mereka)

Dalam hadits lain:

“ Sesungguhnya air (sumur) itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun “

(HR. Tirmidzi, An Nasai, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

2. Air Muqoyyad

-  Air yang sudah terikat karena sudah bercampur dengan benda atau dzat lain. Misal : sabun, gula, teh, susu, dan semisalnya. Jadi secara umum air yang disifatkan sebagai maa’ thohur (air yang suci) adalah air mutlak dan dianggap sebagai maa’ thohur dan apa yang berada diatas makna ini, maka itulah air mutlak.

Jika air mutlak berubah rasa, warna, atau bau karna najis maka tak sah untuk bersuci dan ini ijma (kesepakatan ulama), adapun jika berubahnya karna materi suci dan tidak dominan maka dalam hal ini yang lebih kuat adalah sah untuk thaharah (ada perbedaan di kalangan ulama dalam hal ini), misal: air yang terkena tanah atau sabun, jika air yang dominan dan benda ini masih disebut air maka sah untuk bersuci.

Jika materi pencampur yang dominan maka sudah tidak disebut air lagi, misalnya sabun yang dominan maka sudah tidak disebut air tapi disebut sabun yang kecampuran air.

3. Air Musta’mal

- Air musta’mal  adalah air yang sudah dipakai untuk berwudhu  -misal-, lalu sebagian dari air bekas wudhu itu jatuh lagi ke air untuk wudhu dan inilah definisi menurut para fuqoha.
air musta’mal adalah suci dan mensucikan dan inilah pendapat yang lebih kuat dan dikuatkan oleh banyak ‘ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Al Utsaimin, Syaikh bin Baaz, dan selainnya.

-  Dalilnya : 
Hadits riwayat Bukhory bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam ketika hendak berwudhu’, maka para sahabat hampir saja perang memperebutkan air bekas wudhu nabinya sehingga dikalangan mereka tidak ada yang namanya istilah air mustakmal.

- Dalil berikutnya : 
Telah sah dalam Shohih Muslim, dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam memakai air mandi yang dipakai mandi istrinya, yaitu  Maimunnah binti Al-Harits Al-Hilaliyah.

- Dalam Kitab As-Sunan disebutkan bahwa ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mandi sebagian istri beliau berkata, “Wahai, Rosulullah tadinya saya junub dan mandi dengan air itu.” Kemudian Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam berkata, “Air itu tidak memindahkan junub. Jika saya junub, maka air tersebut tidak junub.”

Dalil diatas menunjukkan air musta’mal tidak dianggap atau tidak memberikan pengaruh hukum dari air itu sendiri sehingga air tersebut tetap suci karena ada dalil mengenai air muthlaq, yaitu yang sepanjang masih ada sifat-sifat airnya, walaupun sudah digunakan, air itu tetap dihukumi thohur (suci dan mensucikan).

- Kesimpulannya adalah air musta’mal itu suci dan mensucikan (thohur).

Thaharah baik untuk menghilangkan hadats besar maupun kecil pada umumnya menggunakan air, bisa diganti dengan debu/tanah jika:

- Air tidak ada (di jarak sekitar yang wajar)
- Tidak mampu menggunakan air, misalnya karna cuaca sangat dingin atau karna sakit

Macam-macam air ditinjau dari kesucian dan bisa tidaknya untuk bersuci dibagi menjadi  dua:

1. Air thahur: air yang suci dan bisa digunakan untuk bersuci. misalnya: air sungai, air sumur, air hujan, salju, dll

2. Air najis: air yang najis dan tidak bisa digunakan untuk bersuci. misalnya: kencing

sumber:
Kitab Mulakhos Fiqhiy
catatandars.blogspot.com

http://ikhsannurrahman.wordpress.com/2014/10/11/bab-air/