Penjelasan Hadits Kedua Arba'in Nawawi



عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .   [رواه مسلم]
Kosa kata /مفردات :

طلع                 : Terbit / datang
 العراة (العاري)     : telanjang
أسند                : Menyandarkan
 رعاء (راعي)      : Penggembala
كفَّيه (كف)        : Kedua telapak 
                       Tangan
يتطاولون        : saling meninggikan
فخذيه (فخذ)       : Kedua pahanya
 انظلق         : Berangkat / Bertolak 
ركبتيه (ركبة)       : Kedua lututnya
أثر                  : Bekas
الحُفاة (الحافي)       : telanjang kaki
 أمارات (أمارة)    : tanda-tanda

Arti hadits / ترجمة الحديث :

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya (Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam), kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang benar disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke baitullah jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu jelaskanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada takdir  yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu jelaskanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”(HR. Muslim).

Kedudukan Hadits

1.      Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.
2.      Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan .
3.      Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

Islam, Iman, dan Ihsan

Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.


Perhatian!
Para penuntut ilmu semestinya paham bahwa adakalanya bagian dari sebuah istilah agama adalah istilah itu sendiri, seperti contoh di atas.

Islam

Syahadatain

Syahadatain (dua kalimat syahadat) secara syar’i memiliki dua makna:
1.      Meyakini dalam hati (I’tiqod)
2.      Mengkabarkan ke orang lain (ikhbar)

Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salihin menjelaskan bahwa tingkatan syahadat ada empat:
1.      Mengilmuinya (ilmu & I’tiqod)
2.      Mengucapkan dengan lisan, meskipun dengan diri kita
3.      Mengabarkan kepada orang lain tentang apa yang kita yakini
4.      Melaksanakan konsekuensi dari syahadat

Para ulama telah bersepakat (ijma) bahwasanya jika ada orang yang menyembunyikan persaksian syahadat maka ia kafir jika tanpa udzur.

Dalam konteks rukun Islam, yang tidak boleh hilang adalah syahdatain dan shalat. Adapun jika tidak mampu zakat karena miskin atau tidak bisa berhaji karena tidak mampu maka masih disebut muslim. Jika ada orang yang mampu berpuasa, membayar zakat, dan berhaji  namun tidak menunaikannya dengan tidak mengingkari kewajiban rukun islam tersebut maka dia masih muslim meski telah melakukan dosa besar

Iman Bertambah dan Berkurang

Nabi menjelaskan iman dengan amalan-amalan hati, meskipun begitu iman tidak cukup hanya dengan keyakinan saja, harus dibuktikan dengan perbuatan. Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Keimanan tidak sah jika salah satu rukun iman atau lebih hilang.
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.
Iman akan bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan akan berkurang dengan kemaksiatan. Iman tidak hanya keyakinan hati, namun juga terdapat amalan di dalamnya.

Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman

Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.
Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh dijadikan sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan syariat agama, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan syariat maka ketentuan syariat lah yang dimenangkan.

Batasan Minimal Sahnya Keimanan

1. Iman kepada Allah.
Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

2. Iman kepada Malaikat.
Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah dengan tugas-tugas tertentu seperti adanya malaikat yang ditugaskan untuk mengantar wahyu.

3. Iman kepada Kitab-kitab.
Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.

4. Iman kepada Para Rasul.
Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya yang mana para utusan Allah mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.

5. Iman kepada Hari Akhir.
Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.
6. Iman kepada Takdir.
Iman kepada takdir sah jika beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi, dan sudah terjadi. Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu, Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.

Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lisannya, dan anggota badannya.
Allah Ta’ala menulis segala sesuatu yang akan terjadi 50 ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Allah Ta’ala memiliki kehendak, apa yang Allah kehendaki terjadi pasti terjadi dan yang tidak Allah kehendaki untuk terjadi tidak mungkin terjadi. Allah menciptakan makhluk dan semua perbuatan makhluk.

Takdir Buruk

Buruknya taqdir ditinjau dari sisi makhluk. Adapun ditinjau dari pencipta takdir yakni Allah Ta’ala, maka semuanya baik. Semua perbuatan Allah adalah baik dan sempurna.

Penyimpangan Syiah Berkaitan dengan Iman

Syi’ah rafidhah mempunyai aqidah (keyakinan) yang disebut aqidah al bada’ yakni mereka meyakini bahwa imam-imam mereka mengetahui hal yang ghaib sehingga imam-imam mereka mengetahui masa depan dan mereka meyakini bahwa imam-imam mereka adalah maksum (terjaga dari dosa). Aqidah al bada’ ini adalah aqidah yang agung menurut syiah.

Berdasarkan aqidah al bada’, Allah baru mengetahui kejadian ketika kejadian itu terjadi. Konsekuensi dari 
aqidah ini, jika apa yang dikabarkan imam mereka tentang masa depan bertolak belakang dengan takdir Allah maka mereka beranggapan yang salah bukan imam mereka, tetapi Allah lah yang salah atau Allah salah ketika mengabarkan wahyu kepada imam mereka. Aqidah al bada’ ini adalah aqidah yang batil dan aqidah ini ada di dalam kitab taurat palsu yang ada di Yahudi.
Bantahan ahlussunnah kepada syiah berkaitan dengan aqidah ini adalah bahwasanya naskh dan mansukh terjadi pada hukum bukan terjadi pada berita, jika terjadi pada berita maka konsekuensinya adalah bohong dan Allah tidak mungkin berbohong, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sangkakan.

Makna Ihsan

Sebuah amal dikatakan ihsan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan.
Level mimal suatu amal dikatakan ihsan adalah ikhlas dan mutaba’ah (sesuai ajaran Nabi)

Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan:

1. Maqom Musyahadah
Makna ini diambil dari teks hadits “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya”. Melihat disini bukan berarti melihat zat Allah, sebagian sufi mengatakan bahwasanya jika sudah mencapai level tertinggi maka kita bisa melihat zat Allah secara langung dan berinteraksi dengan-Nya, pemahaman sufi ini adalah pemahaman yang salah. Yang dimaksud melihat disini adalah senantiasa memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Semakin dia mendalami dan mengetahui nama dan sifat Allah maka ia akan menyadari bahwa segala hal yang terjadi adalah kekuasaan Allah, jika ia berbuat dosa maka ia akan segera bertaubat karena ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat.

2. Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya, kedudukan yang lebih tinggi lagi. Maqam muraqabah ini lebih rendah dari maqam musyahadah.
Makna ini diambil dari teks hadits “Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau”
 Ketika beribadah kepada Allah, dia selalu merasa diawasi oleh Allah, selalu diliputi ilmu Allah sehingga ia khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya

Hari Akhir

Pengetahuan tentang kapan terjadinya hari kiamat adalah rahasia Allah, hanya Allah yang mengetahuinya bahkan malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam yang merupakan makhluk yang dekat dengan Allah pun tidak mengetahui. Jika ada berita yang mengatakan kiamat akan terjadi pada tanggal sekian tahun sekian maka bisa dipastikan kabar itu adalah dusta, hanya bualan belaka, jika makhluk yang mulia seperti malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak mengetahui, apalagi orang yang tingkatannya jauh di bawah mereka.

Yang terpenting bagi kita bukanlah kapan kiamat akan terjadi, yang terpenting adalah apa persiapan kita untuk menghadapi hari kiamat.

Tanda-tanda kiamat ada dua yakni tanda-tanda kiamat besar dan tanda-tanda kiaamt kecil.
Tanda-tanda kiamat kecil yakni sebelum munculnya Al Masih Ad Dajjal. Tanda kiamat kecil yang disebutkan dalam hadits ini adalah ”Apabila budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.”
Apabila budak perempuan yang melahirkan tuannya yakni qiyas tentang kedurhakaan menjelang hari kiamat sehingga ada anak yang memperlakukan ibunya sebagai budak, menjelang hari kiamat banyak hal yang terbalik, seolah-olah ibu menjadi budak dan anak tersebut yang menjadi tuannya.


Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi  pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.
2.    Dzahir hadits menunjukkan hal ini (baju putih) adalah hal yang dianjurkan & ini bisa kita usahakan
3.    Adapun rambut hitam tidak bisa kita usahakan & ada larangan menyemir rambut dengan warna hitam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"غَيِّرُوا هَذَا الشَّيْبَ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ  (رواه مسلم)
"Rubahlah warna uban itu, dan jauhi warna hitam." (HR. Muslim, no. 2102)
4.    Mengenai dhamir (kata ganti) pada kata فَخِذَيْهِ (kedua pahanya) terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
-          Kedua pahanya, kata “nya” kembali kepada Jibril ‘alaihissalam
-          Kedua pahanya, kata “nya” kembali kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam dan ini yang lebih kuat
Jadi pada hadits di atas Jibril meletakkan kedua tangannya pada paha Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam

5.  Dalam hadits ini dicontohkan adab yang baik dalam berguru (menuntut ilmu) yakni dengan mendekat kepada guru yang hikmahnya dia tidak perlu berteriak-teriak ketika hendak bertanya kepada guru & guru juga tidak perlu berteriak-teriak ketika menjelaskan kepada para muridnya.
6.   Jika Surat Al Fatihah disebut Ummul Qur’an (Induknya Al Qur’an) maka hadits Jibril ini disebut Ummu Sunnah (Induknya As Sunnah). Imam Al Baghawi dalam Al Mashabih & Syarhussunnah mengawali kitabnya dengan hadits ini karena hadits ini adalah ummu sunnah yang menjelaskan inti ajaran islam. Di dalamnya terdapat terdapat pokok-pokok akidah (rukun iman), mencakup syariat yang dzahir (rukun Islam), & di dalamnya terdapat keimanan terhadap yang ghaib (hari kiamat), dan juga terdapat adab dalam majlis ilmu.
7.      Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam adalah seorang pemimpin yang paling mulia namun beliau tetap berbaur dengan para sahabat dengan tidak memposisikan diri sebagai orang yang mulia yang membutuhkan tempat atau singgasana khusus.
8.  Siapa yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang hadir dapat mengambil manfaat darinya.
9.  Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata: “Saya tidak tahu“,  dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.
10.  Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.
11.  Termasuk tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan hambanya.
12.  Tidak disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak ada kebutuhan.
13.  Didalamnya terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala.
14.  Konsekuensi dari pernyataan (…malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian) adalah bahwa yang terdapat dalam hadits sudah mencakup inti ajaran Islam.



Sumber: 
– Kajian Arbain Nawawi Rabu Sore di Masjid Ibnu Sina FK UGM bersama ust. Saifudin hakim
Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id yang disusun oleh Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)

Fikih Wadah

Fikih Wadah
wadah

Wadah/bejana menurut ahli bahasa, yaitu setiap tempat yang bisa menampung benda lain. Wadah boleh terbuat dari bahan apa saja, seperti kulit, batu, emas, besi, perak, perunggu, dan lainnya. Ada wadah yang boleh digunakan dan ada yang tidak boleh digunakan, baik untuk thoharoh maupun selainnya.
bejana

Terkait wadah, ada beberapa larangan yang perlu diperhatikan:

1. Terlarang menggunakan wadah yang mengandung emas dan perak (baik olesan, sepuhan, murni) untuk makan atau minum dan hal ini merupakan ijma' (kesepakatan) para ulama , kecuali wadah retak yang ditambal seperti garis dengan perak sedikit maka hal ini boleh.
Dalil terlarangnya menggunakan wadah yang terbuat dari emas atau perak untuk makan dan minum adalah
“Jangan kalian minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak dan jangan pula kalian makan di piringnya karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).” 

[HR. Bukhari, No. 5426 dan Muslim, No. 2067] 

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

“Orang yang minum dari gelas perak, sesungguhnya dia menumpahkan api neraka ke dalam perutnya.” (Bukhari Muslim dari riwayat Ummu Salamah) 
Adapun dalil bolehnya menggunakan wadah yang terdapat tambalan dari perak adalah hadits berikut
Dari Anas bin Malik rodiyalloohu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollalloohu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak.” 
(HR. Al-Bukhory)
 Tambalan dengan perak itu diperbolehkan dengan 4 syarat :
1) Berbentuk tambalan (سِلْسِلَةً)
2.) Sifatnya sedikit tambalan itu ;
3.) Hanya dibolehkan dari perak saja, emas tidak boleh ;
4.) Hal itu dilakukan karena hajat (ada kebutuhan)
Mengenai penggunaan wadah emas dan perak untuk selain makan dan minum terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama

1. Pendapat pertama adalah terlarang menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak untuk semua penggunaaan. Pendapat ini dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama dan juga dipilih oleh Ibnu Qudamah.

Dalil yang digunakan jumhur adalah
 “ … karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).”

Menunjukkan seakan penggunaannya tidak terbatas pada perkara makan dan minum saja dan karena dasar ‘illah-nya adalah kecenderungan hati untuk bermegah-megahan dengan emas dan perak. Apalagi sebagian sahabat mencela penggunaan emas dan perak dalam bentuk isti’mal (menggunakannya) sebagaimana dalam sebagian riwayat ‘Aisyah dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma.
2. Pendapat kedua adalah boleh menggunakan wadah yang terbuat dari emas atau perak untuk selain makan dan minum. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa penggunaan (selain makan, minum) diperbolehkan. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Author , dalam kitab Ad DurorulBahiyah, Imam Ash Shon’ani dalam SubulussalamSyaikh Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti dan ini adalah pendapat yang lebih kuat, wallahu a'lam.
Dalil yang digunakan pendapat ini adalah
Dari ‘Utsman ibnu ‘Abdillah ibnu Mauhib, ia berkata, “Keluargaku mengutus saya kepada Ummu Salamah dengan membawa gelas berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak yang berisi rambut Nabi. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal, maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian. “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut berwarna merah,” kata‘Utsman.

[HR. Bukhory dalam Kitaabul Libaas]
Penjelasan Hadits :
Genta (jaljal) berbentuk seperti lonceng dan terbuat dari perak. ‘Ummu Salamah menyimpan beberapa helai rambut Rasullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam genta tersebut dan digunakan oleh orang-orang ketika sakit untuk bertabarruk (meminta berkah) dengan zat Nabi, Hal itu ada dalam atsar bahwa Allah subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keberakahan pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi keberkahan itu hanya khusus pada Nabi saja dan tidak kepada selain beliau. Ummu Salamah meletakkan rambut Rosululloh dalam jal-jal yang terbuat dari perak menunjukkan bolehnya penggunaan bejana emas dan perak, selain perkara makan dan minum.Dalil lainnya adalah kaedah umum yang berbunyi

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يرد دليل بالمنع

"Segala sesuatu itu halal hukumya (boleh digunakan) kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
Maksud kaidah diatas bahwa semua benda adalah suci (tidak najis) kecuali ada keterangan dari Al-Qur'an maupun hadist yang menunjukan haramnya sesuatu benda. Dengan demikian benda yang haram sedikit sekali dibanding benda yang halal.

Berdasarkan kaedah di atas dan dalil yang ada, yang dilarang adalah penggunaan emas atau perak untuk makan dan minum, adapun selain hal tersebut maka diperbolehkan, wallahu a'lam.
Tetapi, tidak ada salahnya jika kita bersikap wara (berhati-hati) dengan mengindari pemakaian bejana/wadah yang terbuat dari emas dan perak sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama yang lebih berhati-hati. Apalagi jika disertai sifat bermegah-megahan dan ini tentunya akan lebih mengarah kepada hal yang diharamkan.

Makan dan minum menggunakan bejana dari emas dan perak merupakan dosa besar karena diancam dengan neraka. dan kaedah dalam masalah ini adalah setiap dosa yang diancam dengan neraka maka dosa tersebut termasuk ke dalam dosa besar.

Hikmah dari larangan  ini adalah:
  1. Agar tidak menyerupai orang-orang kafir
  2. Agar tidak boros
  3. Agar tidak menyakiti hati orang-orang miskin
Ada pertanyaan: bagaimana hukum menggunakan permata atauintan untuk makan dan minum?
Jawab: Hukum asalnya boleh, hanya saja jika bisa mengantarkan kepada kesombongan maka tidak boleh karena yang dilarang berdasarkan dalil adalah emas dan perak.

2. Terlarang wadah terbuat dari kulit bangkai kecuali setelah disamak untuk binatang yang boleh dimakan.

Wadah yang terbuat dari kulit bangkai binatang yang boleh dimakan yang telah disamak boleh digunakan baik kering atau basah. Yang memilih bolehnya adalah jumhur(mayoritas) ulama karena adanya hadits shohih yang membolehkan penggunaan kulit bangkai setelah disamak.
 Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”
[HR. An Nasa’i, No. 4241, At Tirmidzi No. 1728, Ibnu Majah No. 3609, Ad-Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir Wa ZiyadatuhuNo. 4476 mengatakan hadits ini shohih]
Hadits Ibnu Abbas tegas sekali menunjukkan apabila  kulit bangkai sudah disamak, maka terhukumi suci.
Dan telah menceritakan kepadaku Abu ath-Thahir dan Harmalah keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah dariIbnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendapati kambing mati yang telah diberikan sebagai sedekah kepada maula Maimunah, maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Mengapa kalian tidak memanfaatkannya dengan menyamaknya?" Mereka berkata, "Ia sudah menjadi bangkai." Maka beliau bersabda, "Yang diharamkan hanyalah memakannya."  [HR. Muslim, No.543]
Hadits diatas menunjukkan bahwa yang diharomkan hanya memakannya. Ada pun jika kulitnya sudah disamak, maka suci. Pendapat yang inilah yang lebih mendekati bahwa kulit bangkai yang sudah disamak, maka hukumnya suci. Jika belum disamak, maka masih najis.Apakah kulit babi dan hewan haram lainnya juga termasuk dalam hadis ini? Sehingga ketika kulit babi itu disamak maka statusnya suci dan boleh dimanfaatkan?

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kulit anjing atau babi, tidak bisa menjadi suci dengan disamak. Sementara itu, hadis ini hanya berlaku untuk kulit bangkai binatang yang halal dimakan. Misalnya, sapi yang mati tanpa disembelih maka menjadi (bangkai), kemudian kulitnya disamak, maka status kulit ini menjadi suci dan boleh dimanfaatkan.
Diantara ulama yang memilih pendapat ini adalah Imam As-Syafii. Dalam kitab Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi menyatakan,

مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ جَمِيعُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْمُتَوَلِّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا

Pendapat As-Syafii, bahwa kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah semua kulit bangkai binatang, kecuali anjing, babi, dan spesies keturunannya. (Syarh Shahih Muslim, 4/54).

Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa kulit binatang ada 3 macam:

1. Kulit binatang yang statusnya suci dan boleh dimanfaatkan, meskipun tidak disamak. Itu adalah kulit hewan yang halal dimakan dan disembelih dengan cara yang benar.

2. Kulit binatang yang tidak bisa disucikan, meskipun telah disamak. Statusnya tetap najis, apapun keadaannya. Itulah kulit semua binatang yang haram dimakan, seperti babi atau anjing.

3. Kulit binatang yang suci setelah disamak, dan najis jika tidak disamak. Itulah kulit bangkai binatang yang halal dimakan, seperti kulit bangkai sapi, dst.  (Liqa’at Bab Al-Maftuh, Volume 52, no. 8).

Alat-alat yang digunakan untuk menyamak kulit yaitu sesuatu yang tajam rasanya atau kelat seperti tawas, cuka, asam, limau dan sebagainya.
Cara menyamak kulit binatang :
  • Terlebih dahulu hendaklah dipisahkan kulit binatang dari anggota badan binatang (setelah disembelih)
  • Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit.
  • Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi.
  • Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.
wallahu a'lam
Sumber:
Kitab mulakhos fiqhiy
catatandars.blogspot.com