عَنْ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ
شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ
أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ
وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ
اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ
تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ
إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ،
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ
وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ
بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ
اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا
الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ
أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ
الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ
فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟
قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ
يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . [رواه مسلم]
Kosa
kata /مفردات :
طلع :
Terbit / datang
|
العراة
(العاري)
: telanjang
|
أسند :
Menyandarkan
|
رعاء
(راعي)
: Penggembala
|
كفَّيه (كف) : Kedua telapak
Tangan
|
يتطاولون
: saling meninggikan
|
فخذيه
(فخذ)
: Kedua pahanya
|
انظلق : Berangkat / Bertolak
|
ركبتيه
(ركبة) : Kedua lututnya
|
أثر
: Bekas
|
الحُفاة
(الحافي)
: telanjang kaki
|
أمارات
(أمارة)
: tanda-tanda
|
Arti
hadits / ترجمة الحديث :
Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga,
beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang
berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh
dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di
hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke
lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya (Nabi
Shalallahu’alaihi wa sallam), kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam
menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi
tiada sesembahan yang benar disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad
adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat,
berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke baitullah jika engkau
mampu mengerjakannya.”
Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia
pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu jelaskanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah
engkau beriman kepada takdir yang baik
dan yang buruk.”Orang
tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu jelaskanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya.
Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya
Ia melihat engkau.”
Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah
kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang
ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang
Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba
dalam mendirikan bangunan.”
Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya.
Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian.”(HR.
Muslim).
Kedudukan Hadits
1.
Materi
hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk
sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.
2.
Hadits
ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat
pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan .
3.
Hadits
ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah
yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril)
dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam)
Islam, Iman, dan Ihsan
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan
Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan
mencakup keduanya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.
Perhatian!
Para penuntut ilmu semestinya paham bahwa adakalanya bagian dari sebuah istilah agama adalah istilah itu sendiri, seperti contoh di atas.
Para penuntut ilmu semestinya paham bahwa adakalanya bagian dari sebuah istilah agama adalah istilah itu sendiri, seperti contoh di atas.
Islam
Syahadatain
Syahadatain (dua kalimat syahadat) secara syar’i
memiliki dua makna:
1. Meyakini
dalam hati (I’tiqod)
2. Mengkabarkan
ke orang lain (ikhbar)
Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salihin menjelaskan bahwa
tingkatan syahadat ada empat:
1. Mengilmuinya
(ilmu & I’tiqod)
2. Mengucapkan
dengan lisan, meskipun dengan diri kita
3. Mengabarkan
kepada orang lain tentang apa yang kita yakini
4. Melaksanakan
konsekuensi dari syahadat
Para ulama telah bersepakat (ijma) bahwasanya jika ada
orang yang menyembunyikan persaksian syahadat maka ia kafir jika tanpa udzur.
Dalam konteks rukun Islam, yang tidak boleh hilang
adalah syahdatain dan shalat. Adapun jika tidak mampu zakat karena miskin atau
tidak bisa berhaji karena tidak mampu maka masih disebut muslim. Jika ada orang
yang mampu berpuasa, membayar zakat, dan berhaji namun tidak menunaikannya dengan tidak
mengingkari kewajiban rukun islam tersebut maka dia masih muslim meski telah
melakukan dosa besar
Iman Bertambah dan Berkurang
Nabi menjelaskan iman dengan amalan-amalan hati,
meskipun begitu iman tidak cukup hanya dengan keyakinan saja, harus dibuktikan
dengan perbuatan. Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan.
Keimanan tidak sah jika salah satu rukun iman atau
lebih hilang.
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam
dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian
sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang
lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang. Hal ini disebabkan
karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh.
Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan
berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman
(amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah
dan berkurang.
Iman akan bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan
akan berkurang dengan kemaksiatan. Iman
tidak hanya keyakinan hati, namun juga terdapat amalan di dalamnya.
Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman
Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil
ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu
yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka
sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk
Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun
tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara
mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan
Islam masih tetap ada.
Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan
istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut
tidak boleh dijadikan sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan
syariat agama, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama
dengan ketentuan syariat maka ketentuan syariat lah yang dimenangkan.
Batasan Minimal Sahnya Keimanan
1. Iman kepada Allah.
Iman kepada Allah sah jika beriman kepada
Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.
2. Iman kepada Malaikat.
Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah
menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan
diantara mereka ada yang diperintah dengan tugas-tugas tertentu seperti adanya
malaikat yang ditugaskan untuk mengantar wahyu.
3. Iman kepada Kitab-kitab.
Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah
telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang
berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.
4. Iman kepada Para Rasul.
Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah
mengutus kepada manusia sebagian hambanya yang mana para utusan Allah mereka
mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah
ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.
5. Iman kepada Hari Akhir.
Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah
membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan
dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas
kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk
surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.
6. Iman kepada Takdir.
Iman kepada takdir sah jika beriman bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi, dan sudah terjadi.
Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan
dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu, Allah menciptakan
segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.
Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lisannya, dan anggota badannya.
Allah Ta’ala menulis segala sesuatu yang akan terjadi
50 ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Allah Ta’ala memiliki
kehendak, apa yang Allah kehendaki terjadi pasti terjadi dan yang tidak Allah
kehendaki untuk terjadi tidak mungkin terjadi. Allah menciptakan makhluk dan
semua perbuatan makhluk.
Takdir Buruk
Buruknya taqdir ditinjau dari sisi makhluk. Adapun ditinjau dari pencipta takdir yakni Allah Ta’ala, maka semuanya baik. Semua perbuatan Allah adalah baik dan sempurna.
Penyimpangan Syiah Berkaitan dengan Iman
Syi’ah rafidhah mempunyai aqidah (keyakinan) yang disebut aqidah al bada’ yakni mereka meyakini bahwa imam-imam mereka mengetahui hal yang ghaib sehingga imam-imam mereka mengetahui masa depan dan mereka meyakini bahwa imam-imam mereka adalah maksum (terjaga dari dosa). Aqidah al bada’ ini adalah aqidah yang agung menurut syiah.
Berdasarkan aqidah al bada’, Allah baru mengetahui kejadian ketika kejadian itu terjadi. Konsekuensi dari
aqidah ini, jika apa yang dikabarkan imam mereka tentang masa depan bertolak belakang dengan takdir Allah maka mereka beranggapan yang salah bukan imam mereka, tetapi Allah lah yang salah atau Allah salah ketika mengabarkan wahyu kepada imam mereka. Aqidah al bada’ ini adalah aqidah yang batil dan aqidah ini ada di dalam kitab taurat palsu yang ada di Yahudi.
Bantahan ahlussunnah kepada syiah berkaitan dengan
aqidah ini adalah bahwasanya naskh dan mansukh terjadi pada hukum bukan terjadi
pada berita, jika terjadi pada berita maka konsekuensinya adalah bohong dan
Allah tidak mungkin berbohong, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sangkakan.
Makna Ihsan
Sebuah amal dikatakan ihsan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan.
Level mimal suatu amal dikatakan ihsan adalah ikhlas
dan mutaba’ah (sesuai ajaran Nabi)
Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan:
1. Maqom Musyahadah
Makna ini diambil dari teks hadits “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya”.
Melihat disini bukan
berarti melihat zat Allah, sebagian sufi mengatakan bahwasanya jika sudah
mencapai level tertinggi maka kita bisa melihat zat Allah secara langung dan
berinteraksi dengan-Nya, pemahaman sufi ini adalah pemahaman yang salah. Yang
dimaksud melihat disini adalah senantiasa memperhatikan pengaruh sifat-sifat
Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Semakin
dia mendalami dan mengetahui nama dan sifat Allah maka ia akan menyadari bahwa
segala hal yang terjadi adalah kekuasaan Allah, jika ia berbuat dosa maka ia
akan segera bertaubat karena ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha
Menerima Taubat.
2. Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan
diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya, kedudukan yang lebih tinggi
lagi. Maqam muraqabah ini lebih rendah dari maqam musyahadah.
Makna
ini diambil dari teks hadits “Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya,
sesungguhnya Ia melihat engkau”
Ketika beribadah kepada Allah, dia selalu merasa
diawasi oleh Allah, selalu diliputi ilmu Allah sehingga ia khusyu’ dalam
beribadah kepada-Nya
Hari Akhir
Pengetahuan tentang kapan terjadinya hari kiamat adalah rahasia Allah, hanya Allah yang mengetahuinya bahkan malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam yang merupakan makhluk yang dekat dengan Allah pun tidak mengetahui. Jika ada berita yang mengatakan kiamat akan terjadi pada tanggal sekian tahun sekian maka bisa dipastikan kabar itu adalah dusta, hanya bualan belaka, jika makhluk yang mulia seperti malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak mengetahui, apalagi orang yang tingkatannya jauh di bawah mereka.
Yang terpenting bagi kita bukanlah kapan kiamat akan
terjadi, yang terpenting adalah apa persiapan kita untuk menghadapi hari
kiamat.
Tanda-tanda kiamat ada dua yakni tanda-tanda kiamat
besar dan tanda-tanda kiaamt kecil.
Tanda-tanda kiamat kecil yakni sebelum munculnya Al
Masih Ad Dajjal. Tanda kiamat kecil yang disebutkan dalam hadits ini adalah ”Apabila budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang
Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba
dalam mendirikan bangunan.”
Apabila
budak perempuan yang melahirkan tuannya yakni qiyas tentang kedurhakaan
menjelang hari kiamat sehingga ada anak yang memperlakukan ibunya sebagai
budak, menjelang hari kiamat banyak hal yang terbalik, seolah-olah ibu menjadi
budak dan anak tersebut yang menjadi tuannya.
Pelajaran
yang terdapat dalam hadits / الفوائد
من الحديث :
1. Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.
1. Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.
2. Dzahir
hadits menunjukkan hal ini (baju putih) adalah hal yang dianjurkan & ini
bisa kita usahakan
3. Adapun
rambut hitam tidak bisa kita usahakan & ada larangan menyemir rambut dengan
warna hitam
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"غَيِّرُوا
هَذَا الشَّيْبَ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ (رواه مسلم)
"Rubahlah
warna uban itu, dan jauhi warna hitam." (HR. Muslim, no. 2102)
4. Mengenai
dhamir (kata ganti) pada kata فَخِذَيْهِ (kedua pahanya) terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama:
-
Kedua pahanya, kata “nya” kembali kepada Jibril ‘alaihissalam
-
Kedua pahanya, kata “nya” kembali kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa
sallam dan ini yang lebih kuat
Jadi pada hadits di atas Jibril meletakkan kedua tangannya pada paha
Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam
5. Dalam hadits ini dicontohkan adab yang baik dalam
berguru (menuntut ilmu) yakni dengan mendekat kepada guru yang hikmahnya dia
tidak perlu berteriak-teriak ketika hendak bertanya kepada guru & guru juga
tidak perlu berteriak-teriak ketika menjelaskan kepada para muridnya.
6. Jika Surat Al Fatihah disebut Ummul Qur’an
(Induknya Al Qur’an) maka hadits Jibril ini disebut Ummu Sunnah
(Induknya As Sunnah). Imam Al Baghawi dalam Al Mashabih & Syarhussunnah
mengawali kitabnya dengan hadits ini karena hadits ini adalah ummu sunnah
yang menjelaskan inti ajaran islam. Di dalamnya terdapat terdapat pokok-pokok
akidah (rukun iman), mencakup syariat yang dzahir (rukun Islam), & di
dalamnya terdapat keimanan terhadap yang ghaib (hari kiamat), dan juga terdapat
adab dalam majlis ilmu.
7. Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam adalah seorang pemimpin yang paling mulia
namun beliau tetap berbaur dengan para sahabat dengan tidak memposisikan diri
sebagai orang yang mulia yang membutuhkan tempat atau singgasana khusus.
8. Siapa
yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh
untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka
wajib baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar
peserta yang hadir dapat mengambil manfaat darinya.
9. Jika
seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk
berkata: “Saya tidak tahu“, dan hal
tersebut tidak mengurangi kedudukannya.
10. Kemungkinan
malaikat tampil dalam wujud manusia.
11. Termasuk
tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua.
Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan
memperlakukan hambanya.
12. Tidak
disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak
ada kebutuhan.
13. Didalamnya
terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah
ta’ala.
14. Konsekuensi dari pernyataan (…malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama
kalian) adalah bahwa yang terdapat dalam hadits sudah mencakup
inti ajaran Islam.
Sumber:
– Kajian Arbain Nawawi Rabu Sore di Masjid Ibnu Sina FK UGM bersama ust. Saifudin hakim
Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi
- Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id yang
disusun oleh Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf
Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)